Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Parpol Ihwal Usulan Hasil Pileg 2014 Jadi Syarat Pilpres 2019

Kompas.com - 15/09/2016, 07:30 WIB
Nabilla Tashandra,
Rakhmat Nur Hakim

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menggulirkan usulan agar hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden pada Pemilihan Presiden 2019.

Terkait angkanya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Selasa (13/9/2016) lalu menyebutkan, tetap berpegang pada Undang-Undang Pemilihan Presiden yang lama: UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

UU itu mengatur bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

(Baca: Pemerintah Usulkan Hasil Pemilu 2014 Digunakan untuk Usung Calon dalam Pilpres 2019)

Tjahjo mengatakan, aturan mengenai hal ini akan dirumuskan dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan pemerintah dan akan segera diserahkan ke DPR untuk pembahasan lebih lanjut.

Perindo

Partai baru yang nyaring menyuarakan protesnya terhadap wacana tersebut adalah Partai Perindo.

Ketua DPP Perindo Armin Gultom menyatakan tersinggung atas pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta salah satu parpol baru untuk bersabar dan mengusung calonnya pada Pilpres 2024.

(Baca: Terancam Tak Bisa Calonkan Presiden, Perindo Siap Gugat UU Pemilu ke MK)

Meski Tjahjo tak menyebut nama partai, menurut Armin, pernyataan itu ditujukan untuk Perindo.

"Terlalu terburu-buru Pak Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa ada salah satu partai yang mungkin akan lolos verifikasi agar bersabar sampai 2024. Kami bukan haus kekuasaan. Ini rasa keadilan saja agar UU Pemilu yang dibuat pemerintah itu adil," kata Armin saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016).

Perindo bahkan berniat melobi sepuluh partai yang ada di DPR untuk menolak aturan tersebut.

Jika aturan itu diloloskan, maka Perindo akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Partai Idaman

Senada, Partai Idaman pun merasa dirugikan dengan usulan pemerintah dalam revisi Undang-Undang Pemilu.

Jika aturan itu diberlakukan, Partai pimpinan Rhoma Irama itu tak akan bisa ikut berkontestasi dalam pilpres 2019, meski sudah memenuhi syarat verifikasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(Baca: Partai Idaman Anggap Pemerintah Langgar Konstitusi)

"Harusnya, kami sebagai partai baru tetap harus diberikan kesempatan untuk ikut dalam pilpres," kata Sekjen Partai Idaman Ramdansyah.

Ramdansyah mengatakan, usulan pemerintah itu akan bertentangan dengan konstitusi apabila disetujui DPR dan menjadi Undang-undang. Ia menegaskan bahwa Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengatur mengenai kesamaan di mata hukum.

Partai Solidaritas Indonesia

Sementara itu, sikap Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berbeda. Ketua Umum PSI Grace Natalie mengatakan partainya tengah fokus pada verifikasi di Kemenkumham dan akan melihat perkembangan ke depan.

Sebab, untuk dinyatakan lolos verifikasi, parpol harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, 50 persen kecamatan.

Partai Keadilan Sejahtera

Sejumlah parpol juga menyuarakan penolakan terhadap wacana tersebut. Salah satunya PKS.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid menegaskan, partainya menolak usulan pemerintah bahwa hasil Pemilu Legislatif 2014 lalu digunakan untuk mengusung calon presiden pada Pemilu 2019.

Ia menganggap usulan tersebut tidak adil dan tidak berpihak pada partai baru yang tak ikut Pemilu 2014.

(Baca: PKS Anggap Tak Adil jika Hasil Pileg 2014 Digunakan untuk Usung Calon di Pilpres 2019)

Agar memenuhi keadilan dan tak bertentangan dengan UUD, Hidayat mengusulkan bahwa semua parpol yang maju dalam Pileg 2019 juga bisa mengikuti pilpres. Apalagi pileg dan pilpres akan digelar serentak.

"Harusnya semua partai yang lolos jadi peserta pemilu berhak mengusung calon presiden," ucapnya.

Partai Hanura

Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR, Dadang Rusdiana menilai, tak relevan jika hasil Pemilu 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2019.

(Baca: Hanura Nilai Tak Relevan Hasil Pileg 2014 Dipakai untuk Usung Capres 2019)

"(Akan) ada distorsi suara rakyat. Jualan 2014 kan beda dengan jualan 2019," kata Dadang.

Namun, beberapa partai mengisyaratkan dukungan terhadap wacana tersebut. Misalnya PAN.

Partai Amanat Nasional

Ketua DPP PAN Yandri Susanto mengatakan, partainya tak berkeberatan dengan usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait ambang batas pencalonan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu.

Yandri menilai wajar atas usulan tersebut, sebab Pemilu 2019 merupakan masa transisi. Ini disebabkan pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2019 akan berlangsung serentak dan belum ada aturan terbaru terkait mekanisme pencalonan presiden.

(Baca: PAN Tak Masalah jika Ambang Batas Presiden Pakai Hasil Pemilu Legislatif 2014)

"Karena pemilu 2019 merupakan masa transisi maka tidak masalah kalau mau menggunakan hasil pemilu legislatif 2014 sebagai ambang batas pencalonan presiden," ujar Yandri.

"Bagi PAN yang terpenting adalah aturan dibuat seadil mungkin. Sehingga proses politik yang berlangsung tidak mencederai prinsip demokrasi," sambung dia.

Partai Kebangkitan Bangsa

PKB adalah salah satu partai yang setuju dengan usul tersebut. Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding menilai, usulan tersebut berguna untuk mengontrol partai agar tak mudah mencalonkan seseorang sebagai presiden dalam Pemilu selanjutnya.

(Baca: Sekjen PKB Setuju Syarat Capres 2019 Pakai Hasil Pileg 2014)

"Saya sih setuju saja prinsip perlunya ada pembatasan agar tidak gampang orang buat partai dan ada semangat ke depan agar ada penyederhanaan partai supaya tidak terlalu banyak dan tidak mudah calonkan presiden," kata Karding.

Namun, beberapa partai menyatakan masih membutuhkan kajian mendalan terkait usulan tersebut.

Partai Nasdem

Salah satunya Partai Nasdem. Ketua DPP Partai Nasdem Johnny G Plate mengakui, usulan itu memunculkan kekhawatiran dari partai baru tidak dapat mengusung calon presiden pada pemilu mendatang.

(Baca: Nasdem Kaji Usulan Hasil Pileg 2014 Jadi Syarat Capres 2019)

"Yang penting harus dijaga unsur fairness karena sebetulnya Pileg dan Pilpres 2019 merupakan pemilu yang sama sekali baru. Hak dan kewajiban setiap parpol perlu seimbang dan sama," kata Johnny.

Partai Golkar

Senada dengan Nasdem, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham mengatakan pihaknya menunggu terlebih dahulu RUU Pemilu diajukan pemerintah ke DPR.

"Sampai sekarang kan belum sampai. Nanti kami akan mengkaji apa argumentasinya," kata Idrus.

(Baca: Meski Dirugikan, Golkar Tak Buru-buru Tolak RUU Pemilu Usulan Pemerintah)

Terkait hal tersebut, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menuturkan, idealnya tak perlu ada batasan terhadap syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam konteks keserentakan Pemilu, kata dia, terdapat kesempatan yang sama antar partai politik dalam proses pemilihan pejabat eksekutif yang mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif.

Sehingga, diperlukan suatu kondisi dimana setiap partai politik memiliki pasangan calon yang diusung.

"Tidak perlu ada syarat minimal jumlah kursi atau raihan suara Pemilu sebelumnya yang dijadikan acuan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujar Masykurudin.

Usulan tersebut, menurutnya, akan membuat partai politik kecil cenderung mengikuti kemauan partai besar yang berujung pada dominasi partai besar. Untuk menghindari monopoli dukungan, ia pun mengusulkan agar ada pembatasan koalisi partai politik pengusung

"Misalnya tidak boleh melampaui 40 persen dari kursi legislatif yang dimiliki partai politik," tutup Masykurudin.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum Ramlan Surbakti menilai usulan Mendagri memiliki dasar yang kuat jika berkaca pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Jika mengacu pada UUD 1945, presiden dan wakil presiden memang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

"Jadi bisa saja usulan Mendagri dipakai karena punya pendasaran yang kuat dari undang-undang dan UUD. Tetapi bisa juga dalam penyusunan RUU Pemilu yang baru dibuat format yang berbeda," ujar Ramlan saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016) malam.

Ramlan berpendapat seyogianya calon presiden diusung oleh partai yang telah memiliki dukungan riil berupa suara.

Hal tersebut tentu tak bisa diperoleh di Pemilu Legislatif 2019 sebab berlangsung serentak dengan pemilu presiden.

Dengan kata lain hasil Pemilu Legislatif 2014 menajdi alternatif.

Menurut Ramlan hal itu penting dilakukan agar calon presiden yang diusung memiliki modal dukungan yang jelas dan memang mewakili aspirasi rakyat.

Sebab jika terlalu banyak calon presiden tanpa dukungan politik riil justru akan menambah polemik. Dia menambahkan jika nantinya Pemerintah dan DPR menginginkan format yang baru pun tak jadi soal.

"Soal mekanisme pencalonan presiden itu bukan keputusan konstitusi tapi kebijakan publik, sehingga wajar bila di dalamnya terdapat proses politik di antara partai-partai yang ada dengan Pemerintah," lanjut Ramlan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com