Malaysia juga mengalami pembangunan besar-besaran semasa kepemimpinan otoriter Mahathir Mohamad (1981-2003). Namun, negeri itu masih termasuk negara berkembang dengan pendapatan domestik bruto (PDB) 9.557 dollar AS (peringkat ke-61) dan skor IPM 0,779 (peringkat ke-62).
Berbeda dengan Singapura, konstitusi Malaysia masih mengistimewakan kelompok tertentu. Bahkan, kini warga minoritas kian khawatir dengan progres legislasi yang diskriminatif.
Tambahan lagi, pemimpin bangsa didera isu megakorupsi (IPK Malaysia 50, peringkat ke-54). Untuk melindungi kepentingan penguasa, diberlakukan UU yang kian represif.
Apabila Singapura tidak merdeka untuk kedua kali, taraf kesejahteraan rakyatnya mungkin hanya seperlima dari sekarang. Tentu soalnya bukan berpisah dari Malaysia semata, juga bukan kecilnya negeri itu sehingga mudah diurus.
Bukankah salah urus terjadi di banyak daerah otonomi Indonesia? Kuncinya adalah kepemimpinan visioner dan kecakapan mengurus negara. Banyak negarawan kaya gagasan besar, tetapi tak cakap mengurus negara.
Seperti mekanik ahli, negarawan seharusnya menguasai seluk-beluk pemerintahan dan mampu mengefektifkan kerja mesin birokrasi.
Jalan kemerdekaan
Malaysia atau Singapura-kah acuan Indonesia? Secara kultural dan hitungan realistis tentunya Malaysia. Banyak sekali kemiripan antara Indonesia dan Malaysia sampai muncul masalah klaim warisan kultural.
Keduanya juga lebih kurang mewarisi masalah-masalah sosial yang sama terkait isu-isu primordial yang mengganggu kesatuan bangsa.
Indonesia juga pernah lama membangun di bawah kepemimpinan otoriter (1967-1998) dan kini PDB kita 3.362 dollar AS (peringkat ke-114), dengan IPM 0,684 (peringkat ke-110) dan IPK 36 (peringkat ke-88).
Berbeda dengan Malaysia, konstitusi Indonesia tidak mencantumkan hal-hal primordial, bahkan sesudah empat kali diamendemen.
Hanya saja, dalam praktiknya Indonesia memberikan perhatian lebih pada pencemaran nama baik (penguasa), tetapi toleran dengan ujaran kebencian dan diskriminasi terselubung dengan berlindung di balik otonomi daerah. Sering terjadi konflik sosial yang menggerus kesatuan bangsa.
Apabila Indonesia tidak zero tolerance terhadap intoleransi, capaian tertingginya paling-paling menyamai Malaysia. Itu pun tidak dalam waktu singkat.