Apabila kita membuat lompatan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sebagiannya meniru Singapura, dalam waktu yang sama mungkin kita akan melampaui Malaysia.
Kita sesungguhnya belum merdeka dari mentalitas terjajah, perasaan diri tak berdaya berhadapan dengan pesona dan kekuatan asing.
Dalam ungkapan Tan Malaka, kita belum merdeka seratus persen (Kemerdekaan 100%: Tiga Percakapan Ekonomi-Politik, 2005). Kemerdekaan dalam bentuk republik tidak cukup, isi kemerdekaanlah yang terpenting.
Republik harus memenuhi hak-hak lahir rakyat (untuk hidup layak dan bermartabat) dan juga hak-hak batinnya (hak-hak politik).
Hanya tiga bulan sesudah proklamasi, Tan Malaka sudah menggariskan keharusan Indonesia memiliki industri berat nasional untuk mengolah hasil tambang dan memproduksi alat utama sistem pertahanan (alutsista).
Juga mesin pembuat mesin, seperti industri otomotif. Berbeda dengan Malaysia, jalan-jalan mereka dipenuhi mobil buatan dalam negeri.
Bahan baku untuk mesin tersedia. Uang dari kekayaan alam kita pun cukup untuk mempekerjakan tenaga ahli asing dan menyekolahkan putra-putri kita di luar negeri.
Tan Malaka tidak anti asing, tetapi menolak kapitalisme asing yang merongrong kedaulatan negara dan kemandirian bangsa serta mengancam industri bayi di dalam negeri.
Indonesia merdeka lama, tetapi terlena. Swasta dan importir dibiarkan menguasai perekonomian nasional.
Badan usaha milik negara dan daerah dibiarkan merugi. Negara memperbanyak utang luar negeri dengan menggadaikan kekayaan alam yang tersisa. Republik Indonesia pun didikte institusi keuangan internasional dan kepentingan korporasi global.
Max Lane menilai elite politik pasca kemerdekaan gagal membentuk nasionalisme bangsa, kekuatan internal bangsa untuk membangun perekonomian mandiri (Unfinished Nation, 2014).
Elite kita sekarang tidak memiliki wibawa untuk berkata seperti para pendiri republik tercinta ini berkata, "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan...." Salah satu batu uji Indonesia kini adalah kedaulatan di laut.
Nasionalisme elite tidak untuk kepentingan nasional, tetapi untuk melanggengkan ataupun merebut kekuasaan, untuk kepentingan bisnis pribadi dan kroni, untuk menghindar dari tanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu.
Nasionalisme elite tak berdaya ketika bertemu dengan kepentingan elite negara lain yang diwakili entitas bisnis raksasa. Kita terjebak dalam slogan melawan kepentingan asing, padahal itu hanya kepentingan elite.
Banyak negara di Afrika dan beberapa di Asia porak poranda oleh perang saudara. Korupsinya juga akut. Rakyat merdeka harus merdeka untuk kedua kali: merdeka dari kemiskinan dan keterbelakangan, merdeka dari mentalitas kebergantungan pada asing. Untuk itu, pemerintahnya mesti profesional dalam mengurus negara dan rakyat.
Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta