JAKARTA, KOMPAS — Kader partai politik yang jadi anggota legislatif di pusat ataupun daerah sering menjadi sumber pemasukan partai.
Di tengah minimnya sumber pendapatan, demi memastikan mesin partai terus berjalan, partai kerap memanfaatkan uang yang diduga berasal dari praktik korupsi anggota legislatif.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, di Jakarta, Selasa (2/8/2016), menuturkan, pada prinsipnya, partai politik berharap kehadiran anggota legislatif baik di pusat maupun daerah dapat berkontribusi menunjang kegiatan partai.
PPP, misalnya, mengharuskan kadernya yang duduk di jabatan legislatif untuk menyumbang secara rutin ke kas partai.
Arsul menuturkan, gajinya sebagai anggota DPR sebesar Rp 54 juta dipotong Rp 20 juta per bulan untuk iuran rutin wajib.
"Partai tidak pernah mewajibkan sumbangan di luar iuran rutin. Namun, dari sumbangan itu, tidak tertutup kemungkinan, uangnya berasal dari hasil permainan proyek anggota atau korupsi di parlemen," kata Arsul.
Praktik pemanfaatan uang hasil korupsi untuk kepentingan partai politik itu terungkap dalam persidangan terhadap mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti, Senin lalu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Politisi PDI-P itu memberikan total uang Rp 600 juta untuk kepentingan kampanye partai di Semarang dan Kendal dalam pemilihan kepala daerah 2015.
Uang itu berasal dari suap pengusaha Abdul Khoir kepada Damayanti untuk jaminan pelaksanaan proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara yang diusulkan Damayanti lewat program aspirasi DPR (Kompas, 2/8).
Sebelumnya, sejumlah anggota DPR yang terjerat korupsi terbukti memanfaatkan uang hasil korupsi untuk kepentingan politik partai.
Menurut Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana, sumber persoalan selama ini ada pada minimnya pemasukan untuk menggerakkan kas partai. Karena itu, partai lazim menempatkan orang tertentu di DPR untuk mencari pemasukan bagi partai, apa pun caranya.
Hal tersebut, misalnya, terlihat dari penempatan anggota partai di Banggar DPR.
Partai biasanya menempatkan bendahara umum, wakil bendahara umum, atau figur yang memiliki kemampuan lobi dan koneksi luas, untuk duduk di posisi Banggar DPR yang berkaitan langsung dengan pembahasan anggaran dan proyek kementerian/lembaga.
Melarang
Wakil Ketua Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, partai sebenarnya melarang bantuan dari anggota dewan yang berasal dari praktik ilegal. Namun, pada kenyataannya, hal tersebut sulit dibuktikan.
Seorang anggota dewan yang menyumbang Rp 150 juta untuk keperluan kampanye pilkada dinilai lumrah untuk ukuran anggota legislatif.
"Kecuali kalau ada kader yang anggota dewan menyumbang sampai Rp 3 miliar untuk partai, itu biasanya dipertanyakan dari mana asalnya," kata Arif.
Secara terpisah, peneliti Indonesian Corruption Watch, Febri Hendri, menekankan perlunya pembenahan sistem pembahasan anggaran di DPR, mulai dari tahap pembahasan di komisi sampai ke Banggar.
Sistem pembahasan yang transparan dan tercatat bisa mengurangi potensi korupsi anggota DPR.
"Sejak perencanaan dan pembahasan anggaran di legislatif harus dibuat terbuka, untuk menekan niat korupsi. Caranya bisa dengan sistem penganggaran elektronik sehingga semua tercatat, mulai dari perencanaan usulan proyek sampai setiap detail perubahan anggaran saat pembahasan di DPR," katanya.
Sementara itu, KPK kemarin memanggil staf Partai Demokrat di DPR, Ippin Mamonto, sebagai saksi kasus dugaan suap pemulusan 12 proyek ruas jalan di Sumatera Barat.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Yuyuk Andriati mengatakan, Ippin diperiksa untuk tersangka mantan anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menuturkan, kasus dugaan suap itu terus diselidiki setelah operasi tangkap tangan terhadap Putu akhir Juni lalu. Dugaan suap itu terkait rencana pembangunan 12 ruas jalan dengan nilai total Rp 300 miliar. (AGE/C08)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 3 dengan judul "Anggota DPR Jadi Sumber Kas".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.