Melarikan diri
YS tak kuat dengan pekerjaan yang dilakukannya selama dua bulan.
Ia meminta izin untuk pulang ke Indonesia dengan dalih menjenguk orangtuanya yang sakit.
YS pun meminjam uang sebesar Rp 13 juta sebagai modal untuk pulang. Sesampainya di Indonesia, ia langsung melapor ke Bareskrim Polri.
Laporan tersebut dilakukan pada 3 Mei 2016.
Kemudian, polisi melakukan penangkapan terhadap AR, RHW, dan SP di tempat berbeda. Ketiganya pun telah ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri.
Saat menangkap AR dan RHW, polisi menemukan catatan korban yang isinya junlah konsumen yang dilayani per hari.
Catatan tersebut menjadi dasar penghitungan fee yang diterima korban. Dari 23 korban, baru 18 yang berhasil diselamatkan.
Sementara, 5 orang lainnya belum diketahui keberadaannya karena lokasi bekerja yang berpindah-pindah.
Bareskrim telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan mengirim penyidik ke Malaysia untuk melakukan pemeriksaan korban di shelter KBRI Kuala Lumpur.
Lemahnya kebijakan
Direktur Migrant Care Anis Hidayah menilai, kasus perdagangan tenaga kerja wanita ke luar negeri mendominasi kasus trafficking di Indonesia.
Mereka dijanjikan pekerjaan mapan dan gaji tinggi. Akan tetapi, kenyataannya, dipekerjakan sebagai PSK atau pembantu rumah tangga.
Anis menilai, hal ini terus terjadi lantaran sistem perlindungan tenaga kerja Indonesia masih lemah.
"Kebijakan migrasi di Indonesia memang bolongnya besar sehingga yang berangkat ke luar mekanismenya lebih pada perdagangan orang, bukan migrasi tenaga kerja," ujar Anis saat dihubungi Kompas.com, Senin malam.