JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengaku optimistis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak disahkan menjadi undang-undang.
Pada 27 Juli mendatang, DPR akan menggelar rapat paripurna untuk mengambil keputusan terkait perppu tersebut.
Meski dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR, sebanyak delapan fraksi dari sepuluh fraksi yang ada, menyetujui Perppu Kebiri dibahas dalam rapat paripurna dengan sejumlah catatan.
"Meski memberikan catatan, tetapi semua fraksi sudah memberikan tanggapan dan semua setuju melanjutkan pembahasan sampai perancangan UU di paripurna, dan sudah ada kerja sama untuk mengundangkan Perppu ini," kata Yohana, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/2016).
Yohana menambahkan saat ini kasus kekerasan seksual terhadap anak sangat masif.
Dia memaparkan, pada tahun 2015, dari 6728 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 58 persen merupakan kasus kekerasan seksual.
"Jadi kami harap dengan disetujuinya Perppu ini dibahas di Paripurna, nanti pembahasan di paripurna bisa lancar dan segera bisa diundangkan dan diimplementasikan," kata Yohana.
Sebelumny,a sebanyak delapan fraksi yang hadir dalam rapat kerja Komisi VIII DPR terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, menerima perppu tersebut untuk dibahas di Rapat Paripurna 27 Juli mendatang dengan sejumlah catatan.
Fraksi-fraksi itu adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Delapan fraksi itu menganggap Pemerintah yang diwakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Sosial, dan Menteri Kesehatan belum memberikan penjelasan yang komprehensif terkait kemunculan Perppu tersebut.
"Dalam implementasi hukuman kebiri kimiawi misalnya, Pemerintah melalui kementerian terkaitnya belum mampu menjawab implementasi mengenai eksekutor karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak jadi eksekutor," kata anggota Komisi VIII Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.