JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah telah menetapkan dua opsi untuk menjamin kasus penyanderaan kapal pengangkut batu bara tidak terjadi lagi dan ekspor bisa dikirim dalam kondisi aman.
Pemerintah menjajaki kemungkinan penggunaan sea marshall (personel bersenjata) yang akan melakukan pengawalan di atas kapal batu bara selama berlayar.
Opsi menempatkan personel bersenjata diprioritaskan untuk kapal pengangkut batu bara berukuran kecil atau kapal tunda (tugboat).
Sebab, kapal tunda dinilai berpotensi lebih besar mengalami pembajakan ketimbang kapal-kapal pengangkut berukuran besar (big vessel).
(Baca: Menhan Sebut Lokasi Penyanderaan 10 Sandera WNI Berhasil Dideteksi)
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan pemerintah sudah mematangkan konsep sea marshall tersebut. Menurut Ryamizard, pemerintah akan memaksimalkan peran TNI dalam melakukan pengawalan di atas kapal batu bara selama berlayar ke Filipina.
"Masalah laut sudah selesai. Kami akan menempatkan tentara di atas kapal untuk melakukan pengawalan selama berlayar ke Filipina," ujar Ryamizard di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Senin (18/7/2016).
Ryamizard menjelaskan, selain menempatkan personel bersenjata di atas kapal, pihak TNI AL juga akan bekerja sama dengan angkatan laut Filipina untuk mengawal kapal pengangkut batu bara.
Pemerintah Filipina, kata Ryamizard sudah mengizinkan militer Indonesia masuk ke wilayah perairannya untuk melakukan pengawalan.
Rencananya Ryamizard akan bertemu dengan Menteri Pertahanan Filipina dan Malaysia pada Kamis (21/7/2016) di Kuala Lumpur untuk membahas standar prosedur operasional dari rencana tersebut.
"Masalah konsep pengawalan sudah selesai nanti tinggal penanandatanganan kesepakatan di Kuala Lumpur hari Kamis," kata Ryamizard.
Peraturan yang mengatur persenjataan awak kapal diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan nomor 7 tahun 2010 terkait pengawasan dan pengendalian senjata api.
Di dalamnya disebutkan, kapal laut Indonesia baik milik swasta maupun pemerintah dapat dipersenjatai. Awak kapal yang dipersenjatai dibatasi sampai seperempat dari seluruh jumlah awak.
(Baca: Panglima TNI Instruksikan Prajuritnya Bersiap Bebaskan Sandera WNI di Filipina)
Sementara dalam peraturan IMO keberadaan personel keamanan bersenjata (PKB) sudah mulai dikenal di kapal dagang sejak Perang Dunia II.
Saat itu, Amerika Serikat menempatkan PKB untuk kapal-kapal niaga yang mengarah ke Eropa Utara. Tak hanya itu, kapal niaga bahkan dilengkapi dengan meriam dan pesawat antiserangan udara.
Opsi kedua yaitu mengenai penetapan jalur aman untuk berlayar oleh Pemerintah (sea corridor). Kementerian Pertahanan menetapkan rute alternatif perjalanan kapal pengangkut batu bara yang akan berlayar ke Filipina.
Menurut Ryamizard ada tiga jalur alternatif kapal dan rencana pengawalan yang melewati wilayah perairan Kalimantan, Malaysia dan Filipina. Ketiga jalur tersebut akan segera disosialisasikan ke seluruh perusahaan kapal Indonesia setelah ada kesepakatan dengan Malaysia dan Filipina pada pertemuan trilateral pada Kamis (21/7/2016) mendatang.
Selain pengawalan di area perairan, dalam pertemuan tersebut juga akan dibahas mengenai pengawalan oleh personel TNI di wilayah daratan Filipina. Pengawalan di wilayah darat, kata Ryamizard, kemungkinan besar bisa dilakukan di bawah koordinasi angkatan bersenjata Filipina.
"Dalam pertemuan nanti saya akan membahas soal penjagaan di darat. Pengawalan akan dipimpin oleh komandan Filipina yang bertanggungjawab di wilayahnya. Ada semacam operasi bersama," ungkap Ryamizard.
Penyanderaan di perbatasan perairan Indonesia, Malaysia dan Filipina jadi persoalan nasional. Itu karena total, sudah empat kali WNI disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Terakhir, tiga WNI disandera kelompok Abu Sayyaf ketika melewati perairan kawasan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu Sabah, Negara Bagian Malaysia.
Mereka adalah ABK pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Lim berbendera Malaysia.
Sebelum penyanderaan tiga WNI, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan.
Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016). Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar. Dengan demikian, total 10 WNI masih disandera.
(baca: Cegah Penyanderaan, Indonesia-Filipina Sepakat Tempatkan Militer di Kapal Dagang)
Sebelumnya, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016. Selain itu, empat ABK kapal tunda Henry juga disandera kelompok yang sama. Keempatnya dibebaskan pada pertengahan Mei 2016.