Pertama, perlu dipahami bahwa ancaman terorisme—lokal maupun global—merupakan kejahatan serius dan luar biasa.
Karena itu, dalam konteks hukum tata negara darurat (Staatsnoodrecht) relasinya dengan hukum pidana darurat (Strafnoodrecht), kejahatan yang demikian sudah dikategorikan secara universal dalam karakter the principles clear and present danger (sesuai asas keadaan bahaya yang nyata dan ada), sehingga memberlakukan aturan-aturan yang eksepsional sifatnya adalah dibenarkan.
Dalam alam demokrasi, berbagai regulasi yang preventif memang perlu suatu penghindaran. Namun, karakter hukum yang memberikan pengakuan adanya suatu ”bahaya yang nyata dan ada” tersebut justru pengaturan regulasi yang preventif sebagai basis yang diutamakan.
Konsep deradikalisasi merupakan karakter pendekatan preventif yang menjadi acuan revisi UU Terorisme, mengingat pendekatan represi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ternyata tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara untuk melakukan pemberantasan terorisme.
Karena itu, diperlukan sarana legalitas lain untuk melakukan pencegahan tindakan terorisme yang lebih komprehensif, dan dalam hal ini pendekatan preventif adalah salah satu sarana untuk mencegah meluasnya tindakan terorisme di Indonesia, yaitu melalui program deradikalisasi yang terarah sesuai sistem peradilan pidana.
UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai payung hukum yang bermuara dari Perppu No 1/2002 hanya memberikan landasan implementasi terhadap tindakan represif (pemberantasan) terorisme, sehingga yang terjadi adalah berjatuhan korban masyarakat yang signifikan dan baru dilakukan tindakan represi terhadap pelakunya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, konsep deradikalisasi seharusnya memberikan langkah-langkah preventif untuk mengintensifkan deteksi terhadap ancaman dan sumber-sumber aksi terorisme guna mengantisipasi secara dini, serta mengintensifkan upaya pengungkapan jaringan terorisme guna mengantisipasi dan mengeliminasi perekrutan pelaku aksi teror.
Semua ini masih ranah peran dan fungsi penegakan hukum dan dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban umum.
Bentuk revisi UU ini justru akan mengundang kritik dan bersentuhan dengan isu HAM, yang tentunya tidak diartikan sebagai meniadakan HAM, tetapi hanya mengurangi HAM dengan pertimbangan yang dapat dibenarkan.
Bahwa, dalam kondisi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara terhadap ancaman terorisme sebagai kejahatan yang serius dan luar biasa, dapat diambil suatu langkah luar biasa, baik itu menyangkut hukum (pidana) materiil maupun formil.
Karena itu, revisi UU ini harus tidak bersifat all purposing act, juga tidak bermakna all embracing act karena memang revisi UU ini hanya limitatif terhadap deradikalisasi terorisme dengan pendekatan preventif dan bukan bagi kepentingan dan kekuasaan politik.