Dari pengamatan keterkaitan hukum tata negara (isu HAM) dan hukum pidana (isu penegakan hukum), konsep deradikalisasi justru menghindari peran dan fungsi penegakan hukum dari norma-norma tersamar yang dapat memberi kesan adanya penyimpangan atas perlindungan HAM.
Tentunya revisi ini tidak dimaksudkan untuk mengembalikan makna pemberantasan subversif yang lebih berlatar belakang politik (praktis).
Revisi ini diharapkan dapat memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk melakukan tindak pencegahan terhadap kegiatan- kegiatan yang diduga kuat berdasarkan hukum sebagai ”perbuatan persiapan” terorisme.
Ranah hukum pidana
Kedua, revisi UU Terorisme ini lebih pada ranah hukum pidana, berisi 10 pasal baru, 9 pasal perubahan, dan 1 pasal penghapusan.
Dari sisi subtansi/materiil delik, antara lain soal pemilikan, perdagangan, pendistribusian senjata/bahan peledak/komponen untuk tindak pidana terorisme (Pasal 10A), perekrutan menjadi anggota terorisme (Pasal 12A), ujaran kebencian yang mengarah tindak pidana terorisme (Pasal 15A), hingga soal pencabutan paspor pelaku dan kehilangan warga negara pelaku yang menjadi wewenang kementerian terkait.
Dari sisi formil prosedural, antara lain memperpanjang lingkup kewenangan penangkapan menjadi 30 hari (Pasal 28), pemeriksaan saksi melakukan komunikasi jarak jauh (Pasal 32 dan 34A), perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 33), dan hukum acara terorisme sama dengan hukum acara tindak pidana pendanaan terorisme.
Sebenarnya, revisi tidaklah selalu berpedoman pada penambahan maupun pengurangan pasal pada UU Terorisme, tetapi lebih memaknai asas pokok revisi UU dan tujuannya, yaitu kebijakan dan strategi nasional terhadap terorisme.
Polemik Pasal 43A Ayat (1) yang memberikan wewenang penyidik/penuntut umum untuk membawa atau menempatkan orang tertentu dan di tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program deradikalisasi, yang sama sekali lepas dari soal pro-yustisia, yaitu meliputi arah re-identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi dan resosialisasi, sehingga sama sekali tidak ada asumsi berbentuk soft detention.
Lagi pula kekhawatiran adanya soft detention itu sudah diantisipasi melalui lembaga praperadilan atau kelak yang dinamakan lembaga pemeriksaan pendahuluan yang melakukan pemeriksaan terhadap segala upaya paksa, apabila ”penempatan orang tertentu” diasumsikan sebagai soft detention.