JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengatakan, MA belum bisa memberikan sanksi kepada Sekretaris MA, Nurhadi Abdurachaman.
Dalam kasus dugaan suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, Nurhadi disebut berperan mempercepat pengurusan pengajuan peninjauan kembali (PK) yang telah lewat batas waktu pengajuannya.
Hatta mengatakan, MA masih menunggu perkembangan kasus tersebut.
Sebelum ada kepastian keterlibatan Nurhadi dalam kasus itu, MA belum akan mengambil sikap.
"Kami belum bisa mengatakan terlibat atau tidak. Kami sama-sama mengikuti jalannya persidangan nanti," ujar Hatta, di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kamis (30/6/2016).
Hatta mengatakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa seorang pegawai lembaga peradilan bisa diberhentikan jika status hukumnya sudah jelas.
"Pada kasus Nurhadi, statusnya bukan status tersangka, bagaimana kami memberhentikan," kata dia.
Sikap MA yang belum memutuskan sanksi bagi Nurhadi, kata Hatta, jangan diartikan sebagai ketidaktegasan.
Hatta mencontohkan, ketegasan MA terhadap dua hakim Tipikor Bengkulu, Janer Purba dan Toton.
Keduanya, diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung (MA) setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik KPK karena terlibat suap.
"Begitu pula Edy Nasution, sudah berstatus tersangka maka kami berhentikan sementara," kata dia.
MA, kata dia, tentu tidak akan mentolerir pejabat internal yang mencoreng lembaga peradilan ini.
"Jika diperiksa ada keterkaitan, MA akan toleransi bagi mereka yang menodai lembaga hukum, kami akan tindak tegas," kata Hatta.
Sebelumnya, dalam persidangan yang diselenggarakan pada Rabu (29/6/2016), Jaksa Penuntut Umum dari KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, disebut berperan mempercepat pengurusan pengajuan peninjauan kembali (PK) yang telah lewat batas waktu pengajuannya.
Keterlibatan Nurhadi terkait pengajuan PK perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013, PT Across Asia Limited dinyatakan pailit.
Putusan tersebut telah diberitahukan oleh PN Jakpus pada 7 Agustus 2015.
Hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA. Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.
Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro menugaskan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti agar mengupayakan pengajuan PK di MA.
PT AAL dan PT Artha Pratama Anugrah merupakan anak usaha Lippo Group.
Menindaklanjuti perintah tersebut, Hesti kemudian menemui Edy Nasution di PN Jakpus, pada Februari 2016.
Edy akhirnya setuju untuk menerima pengajuan PK yang telah lewat batas waktunya karena dijanjikan sejumlah uang.
Pada 30 Maret 2016, berkas PK perkara PT AAL akhirnya diserahkan ke Mahkamah Agung.
Eddy Sindoro kemudian menyetujui pemberian uang tersebut, dan meminta Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho (anak usaha Lippo Group), untuk menyiapkan uang.
Selanjutnya, disepakati imbalan bagi Edy Nasution sebesar Rp 50 juta.
Penyerahan dilakukan oleh Doddy di Basement Hotel Acacia, Jakarta, pada 20 April 2016.
Setelah serah terima, Doddy dan Edy Nasution ditangkap petugas KPK.
Terkait kasus ini, penyidik KPK telah beberapa kali memanggil Nurhadi untuk diperiksa.
Ia diduga kuat mengetahui perkara suap yang terjadi di PN Jakarta Pusat.