JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat terorisme Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo, menilai saat ini Indonesia belum memiliki model penanganan terorisme yang jelas. Hal itu pun tecermin dalam upaya Revisi Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme saat ini.
Di dalam pembahasannya, RUU itu belum menggambarkan model penanganan yang hendak dipilih.
"Indonesia ini tidak jelas model penanganan terorismenya, apakah dengan model war system atau murni criminal justice, nah sekarang Detasemen Khusus (Densus) 88 katanya pakai criminal justice, tetapi kok penangkapannya model war system, seperti orang perang," ujar Hermawan dalam acara diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2016).
Dia menambahkan, di beberapa negara maju, model penanganan terorisme sudah jelas. Hermawan pun mencontohkan model penanganan terorisme di Jerman yang cukup komprehensif.
(Baca: Soal Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme, Ini Kata Kapolri)
"Di Jerman itu jelas. Jika korban dan pelakunya masyarakat sipil, dan tindakan terorisme terjadi di Jerman, pasti ditangani polisi," kata Hermawan.
"Tetapi, kalau pelakunya masyarakat sipil, lalu mengancam kepala negara atau kedaulatan negara, atau pelakunya sipil, tetapi korbannya warga negara Jerman dan kejadiannya terjadi di luar wilayah Jerman, pasti ditangani militer. Mereka jelas batasannya antara polisi dan militer," kata dia.
Oleh karena itu, dia mengimbau agar DPR dan pemerintah mematangkan konsep penanganan terorisme yang tepat dalam pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar penanganannya efektif dan tidak melanggar prinsip-prinsip HAM.
(Baca: Anggota Komisi I Sebut Peran TNI Harus Lebih Dominan dalam Pemberantasan Teroris)
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Kamis (16/6/2016) silam di rapat Panitia Khusus (Pansus) DPR RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI mengusulkan agar terorisme tidak diartikan sebagai tindak pidana.
Sebab, dengan mengartikannya sebagai tindak pidana, penanganannya harus berada di bawah kendali Pori.
Namun, usulan tersebut ditentang oleh sebagian pihak. Usulan itu dianggap akan menutup pola criminal justice yang memberi kesempatan bagi tersangka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Pasalnya, tersangka bisa saja dieksekusi tanpa ada proses pengadilan.