JAKARTA, KOMPAS.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berupaya menghindari wawancara dengan wartawan usai mengikuti rapat mengenai tujuh warga negara Indonesia yang disandera kelompok bersenjata Filipina.
Sebelumnya, Gatot dianggap salah memberikan informasi setelah menyebut tujuh WNI yang disandera sebagai kabar bohong.
Rapat digelar di Kantor Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan di Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Selain Gatot dan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, rapat tersebut juga diikuti oleh Menteri Pertahanan Ryamizard, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Saat rapat usai pukul 11.00 WIB, mobil dinas Panglima TNI dengan plat ***1-00 sudah bersiap tepat di depan pintu kantor Luhut. Begitu pula dengan mobil para pejabat lain yang mengikuti rapat.
Namun, rupanya Gatot bersama Ryamizard dan Sutiyoso, tidak keluar melalui pintu depan tempat mobil dinas mereka sudah bersiap. Ketiganya justru keluar melewati pintu samping dan buru-buru masuk ke dalam mobil Camry yang juga ber-plat 50-00 Mabes TNI.
Wartawan sempat memanggil ketiganya, namun tak ada respons yang diberikan. Hanya Badrodin dan Retno yang keluar melalui pintu depan dan menaiki mobil mereka masing-masing.
Adapun hasil rapat tersebut disampaikan oleh Retno ke awak media. Pertama, pemerintah memutuskan menghidupkan lagi Crisis Center yang sebelumnya sempat dibentuk saat menangani dua kali insiden WNI yang disandera Abu Sayyaf.
Kedua, pemerintah akan mengintensifkan komunikasi dengan pihak-pihak terkait, baik di Filipina maupun di Indonesia untuk mencari cara yang tepat dalam pembebasan sandera.
Ketiga, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan moratorium pengiriman batubara ke Filipina sampai mereka bisa menjamin keselamatan WNI.
Tujuh WNI yang disandera merupakan anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152. Retno mengatakan, informasi soal penyanderaan itu diterimanya pada Kamis (23/6/2016) kemarin.
"Pada 23 Juni 2016 sore, kami mendapatkan konfirmasi telah terjadi penyanderaan terhadap ABK WNI Kapal talkboot charles (TB Charles) 001 dan kapal tongkang Robi 152," ujar Retno, dalam jumpa pers di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (24/6/2016).
(Baca: Panglima TNI Bantah ada Penculikan WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf)
Retno menyebutkan, penyanderaan tersebut terjadi di Laut Sulu. Penyanderaan, lanjut dia, terjadi dalam dua waktu berbeda, pada 20 Juni 2016.
"Pada 20 Juni 2016, yaitu pada sekira pukul 11.30 waktu setempat. Dan yang kedua sekira pukul 12.45 waktu setempat oleh dua kelompok bersenjata yang berbeda," kata Retno.
Retno mengatakan, saat terjadi penyanderaan, kapal tersebut membawa tiga belas orang ABK. "Tujuh ABK disandera dan enam ABK dibebaskan," kata dia.
(Baca: ABK yang Dibebaskan Benarkan Terjadi Penculikan Tujuh WNI)
Saat ini, lanjut Retno, enam ABK yang dibebaskan tersebut masih dalam perjalanan membawa kapal TB Charles 001dan tongkang robi 152 menuju Samarinda.
Panglima TNI Sempat Membatah Pada Rabu (24/6/2016), Panglima TNI sempat membantah kabar penculikan terhadap warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf.
"Saya pastikan itu bohong," kata Gatot, usai menghadiri buka bersama di kediaman Ketua DPD Irman Gusman, Jakarta, Rabu (22/6/2016).
Padahal, kabar soal WNI yang disandera ini sudah diungkapkan salah satu keluarga ABK kepada media. Megawati mengaku dihubungi oleh suaminya, Ismail, yang merupakan juru mudi yang turut disandera.
Pada Rabu (22/6/2016), Megawati menuturkan, tepat pukul 11.00 Wita hari itu, teleponnya berdering dan terlihat nomor panggilan dari Jakarta. Ketika diangkat, ternyata suaminya, yang menghubunginya dengan nada tergesa-gesa.
Suaminya memerintahkan Mega untuk mencari wartawan, kepolisian setempat, Pemerintah Indonesia, dan pihak PT PP Rusianto Bersaudara.
"Saya dikabari tergesa-gesa, saya kaget tidak sempat tanya apa kabarnya, bagaimana nasibnya. Dia cuma minta dicarikan wartawan, kepolisian, pemerintah, dan perusahaan," kata Mega, Rabu.
"Di akhir komunikasi, suami bilang harus disiapkan uang 20 juta ringgit sebagai uang tebusan. Kami sudah ke perusahaan, tetapi masih belum ada kejelasan," ujarnya.