Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keserentakan Pemilu pada 2024 dalam RUU Pilkada Dianggap Membingungkan

Kompas.com - 01/06/2016, 19:37 WIB
Ayu Rachmaningtyas

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setidaknya ada 13 poin usulan panitia kerja revisi Undang-Undang Pilkada telah disepakati oleh fraksi-fraksi di Komisi II untuk disahkan di Paripurna DPR.

Salah satu poin RUU Pilkada itu adalah penataan ulang penyelenggaraan pilkada, hingga mencapai keserentakan nasional pada 2024 mendatang.

"Panja menyepakati bahwa pemungutan suara lanjutan hasil Pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada Bulan Desember tahun 2020. Hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022. Hasil Pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023 Hal ini dilakukan sampai mencapai keserentakan nasional pada tahun 2024," demikian usulan panja.

Menanggapi itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mempertanyakan kesiapan pemerintah dan DPR untuk menyesuaikan waktu hingga tercapai keserentakan pilkada pada 2024.

"Apakah pemerintah sudah menyiapkan formula untuk menyesuaikan dengan UU Pilkada kalau mau menyelenggarakan pilkada serentak 2024 bersama pemilihan lainnya?" ujar Fadli, saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (1/6/2016).

Fadli mengatakan, jika pilkada serentak digelar pada 2024, maka kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pilkada 2020 hanya menjabat selama empat tahun.

Begitu juga dengan kepala daerah yang terpilih pada 2022, masa jabatannya hanya dua tahun. Malahan, kepala daerah yang terpilih pada 2023, masa jabatannya hanya 1 tahun.

"Ini mesti jelas aturan peralihannya. Diperjelas dari awal bahwa masa jabatannya sudah dipotong, dan bagaimana dengan konsekuensinya?" ujar Fadli.

Menurut dia, proses pilkada serentak nasional 2024 akan mengubah total proses penyelenggaraan pemilu. Akan ada beban berat yang ditanggung penyelenggara dan memberatkan peserta.

"Apakah efektif menyelenggarakan pilkada dan pemilu yang waktunya sangat mepet? Ditambah dengan efektivitas masa jabatan yang juga terbatas," kata Fadli.

Fadli mengatakan, sebelumnya Perludem telah mengusulkan adanya pemilu nasional dan pemilu lokal, dengan jeda 2,5 tahun.

Pemilihan nasional untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, dan DPR. Sedangkan pemilu lokal untuk memilih DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, bupati, wali kota, dan gubernur.

Menurut Fadli, usulan Perludem ini untuk menghindari terlaksananya pilkada yang memberatkan penyelenggara dan peserta, serta membingungkan pemilih.

Kompas TV Soal RUU Pilkada, Pemerintah Belum Kompak?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com