JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode kepemimpinan Agus Rahardjo telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan sejumlah oknum institusi peradilan.
Mulai dari panitera Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hingga pegawai Mahkamah Agung diduga terlibat dalam kasus korupsi.
Sekretaris MA Nurhadi pun beberapa kali diperiksa KPK sebagai karena dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksmana, mengaku prihatin melihat perilaku penegak hukum banyak yang tersangkut masalah hukum.
Menurut dia, bukan cerita baru jika setiap lini di badan peradilan bisa dijadikan celah perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kasus keterlibatan penegak hukum dalam masalah hukum, kata dia, akhirnya memunculkan banyak tanda tanya di masyarakat.
"Ini penegak hukum tidak paham hukum, atau penegak hukum mempermainkan hukum, atau penjahat yang berkedok penegak hukum?" ujar Ganjar saat dihubungi, Rabu (25/45/2016).
Mahkamah Agung, lanjutnya, telah melakukan langkah pembinaan. Namun akhirnya muncul tanda tanya baru, seperti apa langkah pembinaan dan pengawasan yang dilakukan, mulai dari rekrutmen, pembinaan, pengawasan termasuk pembinaan jika ada yang melanggar.
Celah dalam badan peradilan dinilai ada di setiap lini. Salah satunya pada proses rekrutmen. Bukan rahasia jika ada main uang di tahapan tersebut sehingga membuat orang-orang yang lolos dari tahapan rekrutmen tidak selalu yang terbaik.
"Sekarang kita menduga, kalau di perkara saja dia berani main, bagaimana dengan yang bukan perkara? Jadi ada unsur kolusi, kedekatan, dan lain-lain," kata dia.
Karena celah-celah tersebut bukan rahasia baru, oleh karena itu perlu ada bersih-bersih pengadilan agar badan-badan peradilan di Indonesia bersih dari praktik-praktik kecurangan.
Ganjar menyebutkan, bersih-bersih perlu dilakukan dari semua lini. Mulai dari rekrutmen, pembinaan, pengawasan, hingga sistem penindakan.
"Sudah bukan rahasia umum bahwa proses pengadilan kita bukan proses adu pintar. Terlalu parah kisruh hukumnya lobi-lobi, kedekatan, dan lainnya," tutur Ganjar.
Ganjar menilai, kesadaran perlu timbul dari masing-masing individu. Sebab, tak mungkin harus diterapkan pengawasan yang lebih ketat misalnya menempatkan pengawas sejumlah hakim di suatu pengadilan.
"Enggak perlu seperti itu. Kalau begitu, nanti semua lini pelayanan publik, pengadilan lain harus dibikin, negara harus mengeluarkan gaji dua kali lipat," ujarnya.
Ganjar menambahkan, yang perlu dibangun adalah sumber daya manusia dan sistem. Kasus-kasus yang menyeret oknum-oknum badan peradilan menunjukkan bahwa tak ada manusia yang sempurna.
"Tugas kita adalah bagaimana memastikan bahwa sistem ini bekerja," ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka setelah menggelar operasi tangkap tangan di Bengkulu pada Senin (23/5/2016).
Dari lima tersangka, dua di antaranya adalah hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Janner Purba dan Hakim PN Kota Bengkulu, Toton.
Sebelumnya, KPK juga telah menangkap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pekerja swasta bernama Doddy Ariyanto Supeno. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.