JAKARTA, KOMPAS.com - Penulis Anton Kurnia mengatakan penyitaan buku yang marak terjadi belakangan ini merupakan tindakan yang melanggar konstitusi. Sebagai penulis, Anton menilai penyitaan itu sebagai tindakan menyedihkan.
"Padahal, sejak tahun 2010 Mahkamah Agung sudah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pelarangan buku pada UU Nomor 4/PNPS/1963. Artinya apa yang dilakukan oleh aparat melawan konstitusi," kata Anton saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/5/2016).
Selain itu, pemberangusan buku merupakan upaya kontraproduktif bagi literasi Indonesia. Pemberangusan buku justru terjadi di tengah literasi Indonesia yang terbelakang.
Anton mengatakan, sebulan yang lalu terdapat survei literasi Internasional. Hasilnya, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
(Baca: Istana Buka Suara soal Awal Mula Maraknya Penyitaan Atribut PKI)
"Indonesia berada nomor dua paling bawah dalam literasi. Indonesia hanya menang dibandingkan Botswana, negara kecil dan miskin di Afrika," ucap Anton.
Anton menuturkan, survei tersebut diukur berdasarkan kegemaran membaca masyarakat, akses terhadap buku, dan jumlah buku yang beredar setiap tahun dibanding jumlah penduduk.
Anton berharap pemerintah berupaya memajukan literasi, bukan melakukan pemberangusan terhadap buku.
(Baca: Buku "The Missing Link G 30 S PKI" Disita dari Toko Swalayan)
Diberitakan sebelumnya, aparat keamanan mulai melakukan razia dan penyitaan terhadap segala benda yang dianggap menyebarkan paham komunis mulai dari kaos, pin, hingga buku. Aksi ini memicu perdebatan di masyarakat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan aparat penegak hukum untuk tidak kebablasan. Meski demikian, Jokowi mendukung upaya pemberantasan paham komunis di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.