Namun hal ini tidak bisa dipisahkan dari jumlah penghuni yang overcrowded dan karakteristik penjara sebagai sebuah budaya. Relasi yang cenderung dekat antara narapidana dan petugas, pada awalnya merupakan sebuah strategi pengendalian sosial.
Apabila keras terus-menerus, petugas kalah jumlah, sehingga sulit untuk mengendalikan. Namun dalam kelanjutannya justru kontraproduktif. Hubungan yang dekat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dua pihak.
Pada sisi makro struktural, masalah di dalam sistem pemasyarakatan sangat berkaitan dengan subsistem peradilan pidana yang lain. Lapas adalah bagian dari sistem pemasyarakatan yang berfungsi sebagai pelaksana pidana berdasarkan putusan hakim.
Posisi lapas hanya menerima narapidana, dan sebagian tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pengadilan juga banyak dititipkan di lapas.
Banyak dari kejahatan yang diteruskan ke penjara berdasarkan putusan hakim sejatinya masih bisa diperdebatkan, seperti kejahatan terkait properti (bermotif ekonomi) yang masuk kategori sangat ringan atau murni pengguna narkotika.
Hal ini belum termasuk mereka yang dipenjara karena permainan oknum penegak hukum.
PP No 99 Tahun 2012
Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang merupakan perubahan dari PP 28 Tahun 2006 dan sebelumnya PP 32 Tahun 1999 tentang pemenuhan hak-hak warga binaan menjadi semacam bottleneck exit.
Semangat munculnya PP 99 ini patut dihargai, yaitu perlawanan terhadap kejahatan extra ordinary crime, seperti korupsi dan terorisme. Namun, secara substantif berbenturan dengan filosofi restoratif-reintegrasi dari sistem pemasyarakatan.
Dalam pandangan saya, PP 99 ini tidak tepat hanya mengatur pemasyarakatan semata (khususnya lapas). Lapas hanya pelaksana pidana, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Logikanya, memberikan reaksi yang keras terhadap kejahatan luar biasa dalam bentuk pemidanaan harus dilihat sebagai tanggung jawab kepolisian, kejaksaan dan pengadilan secara bersamaan.
Saat ini terdapat kesan, kebuntuan harapan perlawanan atas korupsi dan narkoba melalui tangan penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim, dialihkan bebannya kepada lembaga pemasyarakatan.
Padahal di lain pihak, filosofi pemasyarakatan melihat remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat adalah bagian penting dari upaya reintegrasi dan restorasi sosial.
Ide memperketat remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat saya kira dapat dilaksanakan dengan mengawasi apakah syarat substantif dan administratifnya terpenuhi. Namun tidak dalam bentuk memperlama kapan mereka dapat mengajukan hak tersebut.
Pembedaan dalam pembinaan hanya dapat dilakukan dalam hal model pembinaannya (karenanya dikenal konsep individualisasi pembinaan), bukan dalam pemberian hak-hak sebagai warga binaan.