Saya sependapat dengan berbagai komentar bahwa PP 99 tidak dapat dijadikan alasan pembenar protes para narapidana, juga dengan sikap negara yang tidak boleh kalah dari tuntutan narapidana.
Namun, hal yang ingin digarisbawahi adalah reaksi keras terhadap kejahatan tidak bisa hanya dilihat semata-mata beban pemasyarakatan. PP 99 semestinya menjadi sebuah peraturan yang mengikat suluruh sistem peradilan pidana. Bagaimana membuat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta pemasyarakatan serius menjalankan fungsi penegakan hukum.
Dalam logika awam, bukankah hakim yang paling menentukan dalam berat/ringannya hukuman yang diberikan kepada koruptor dan bandar narkoba?
Selain dalam hubungannya dengan subsistem peradilan pidana lainnya, lemahnya fungsi pemasyarakatan juga dilatari oleh sebuah persoalan klasik, yaitu tidak cukupnya anggaran dan kurangnya jumlah dan kualitas sumber daya manusia.
Hal yang perlu diketahui publik adalah, pemasyarakatan adalah sebuah organisasi dengan tugas yang sangat besar, namun berada di bawah struktur birokrasi kementerian.
Dalam struktur Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan lebih bertanggung jawab dalam hal teknis fungsional, sementara aspek fasilitatif (seperti anggaran dan sumber daya manusia) berada di bawah kewenangan Sekretariat Jenderal kementerian, melalui kantor wilayah.
Seorang Kepala Lapas/Rutan bertanggung jawab langsung bukan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan, namun kepada Kepala Kantor Wilayah.
Persoalan integrated structure Kementerian Hukum dan HAM ini memunculkan masalah dalam penganggaran teknis pemasyarakatan. Terkadang apa yang dibutuhkan di unit teknis, sesuai arahan direktorat jenderal, tidak terfasilitasi secara proporsional oleh kesekjenan, melalui kantor wilayah. Termasuk penyediaan jumlah petugas.
Dengan fungsi yang sangat luas, tidak hanya pada post-adjudikasi (fungsi lapas), namun juga sudah berperan dalam pre-adjudikasi dan adjudikasi (melalui peran rumah tahanan dan balai pemasyarakatan), pemasyarakatan Indonesia sudah selayaknya memiliki organisasi yang mandiri.
Wacana mengenai Badan Pemasyarakatan Nasional (Bapasnas) penting untuk didiskusikan kembali, setelah sempat akan diwujudkan di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Wacana bahwa pemasyarakatan dinilai belum mampu mengelola organisasi besar atau menjadi mandiri, dalam pandangan saya tidak terlalu beralasan. Kemunculan Badan Pemasyarakatan Nasional, dapat dilihat dalam konteks kemunculan Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pada akhirnya, pembenahan sistem pemasyarakatan juga membutuhkan political will dari masyarakat melalui legislatif. Hingga saat ini, perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang bisa dikatakan sudah jauh tertinggal dari kondisi riil pemasyarakatan saat ini masih di luar prioritas DPR (di dalam program legislasi nasional).
Mungkin karena publik menganggap untuk apa menghabiskan energi dan anggaran untuk membahas sebuah sistem yang mengurus orang-orang jahat. Tentu saja pandangan ini juga tidak beralasan.
Sistem pemasyarakatan tidak hanya bicara tentang memenuhi kebutuhan narapidana di "hotel prodeo", tetapi tentang bagaimana membentuk desistensi terhadap kejahatan atau mencegah pengulangan, yang berujung pada keamanan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.