JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf mengatakan bahwa saat ini tidak ada urgensi untuk memperpanjang masa penangkapan dan penahananbm terduga teroris.
Perpanjangan masa tahanan diusulkan untuk masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut Al Araf, secara umum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror dinilai mampu melakukan tugasnya dalam menangani terorisme dengan baik.
Ini terbukti beberapa waktu lalu, ketika kepolisian berhasil membongkar jaringan teroris Jamaah Islamiyah dan menangani teror Bom Thamrin dengan cepat.
"Dan itu dengan masa penangkapan pada UU yang ada sekarang yakni 7x24 jam. Artinya dengan ketentuan yang ada selama ini UU tersebut sudah efektif," ujar Al Araf saat ditemui di kantornya, Tebet Utara, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016).
Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini yang paling dibutuhkan dalam penanganan terorisme adalah dibentuknya sistem pengawasan dan evaluasi di dalam UU Antiterorisme.
Ini mengingat bahwa saat ini Densus 88 memiliki kewenangan khusus terkait upaya pemberantasan jaringan teroris.
Pengawasan dan evaluasi, kata Al Araf, harus dilakukan secara berkesinambungan setiap tahun untuk menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan oleh Densus 88.
Ia mengatakan, seharusnya kasus kematian terduga teroris Siyono saat penangkapan oleh Densus 88 beberapa waktu lalu bisa menjadi alasan kuat dibentuknya sebuah sistem pengawasan.
"Selama ini kan sistem pengawasan tidak. Di situ letak urgensinya. Bukan pada masa penangkapan dan penahanan. Kalau Densus diberi kewenangan khusus, haruss ada pengawasan yang efektif dan evaluasi oleh DPR tiap tahun," ujarnya.