JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara Hary Tanoesoedibjo, Hotman Paris Hutapea, bersikeras bahwa tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan akibat penerimaan kelebihan bayar atas pembayaran pajak PT Mobile 8.
Menurut dia, Kejaksaan Agung tidak berhak menangani perkara yamg menyeret Hary sebagai saksi dalam kasus ini.
"Kan kejaksaan baru bisa menyebutkan korupsi kalau negara merugi. Kalau itu hanya transaksi) fiktif, bukan urusan kejaksaan. Itu urusan kepolisian," ujar Hotman di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Lagipula, kata Hotman, tak ada transaksi fiktif antara PT Mobile 8 dengan PT Djaya Nusantara Komunikasi dalam pengadaan ponsel sekaligus pulsa.
Ia malah menuding kejaksaan tidak memahami undang-undang pajak.
"Kalau orang mengaku income-nya dobel, padahal pendapatannya enggak dobel, tapi bayar pajak, itu negara untung. Ini semua dibayar," kata Hotman.
"Kalau tidak ada kerugian negara, kejaksaan harus tahu diri tidak ada urusan dengan ini," lanjut dia.
Hotman menganggap justru kelebihan pembayaran pajak oleh PT Mobile 8 justru menguntungkan kerugian negara.
Menurut dia, tak peduli pendapatan itu fiktif atau tidak, yang penting pajak perusahaan dibayarkan ke negara.
"Jadi tidak ada kaitan itu fiktif atau enggak, yang penting pajaknya dibayar maka tidak ada kerugian negara," kata Hotman.
Kasus dugaan korupsi PT Mobile 8 bermula saat Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif yang dilakukan dengan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 melakukan pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Ternyata, PT Djaya Nusantara Komunikasi tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada Desember 2007, PT Mobile 8 mentransfer uang kepada PT Djaya Nusantara Komunikasi sebanyak dua kali dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar.
Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009. PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10 miliar.
Padahal, perusahaan itu tidak berhak atau tidak sah menerima restitusi karena tidak ada transaksi. Akibatnya, diduga negara mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.