Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Hillary Clinton, Ani Yudhoyono dan Jalan Menjadi Pemimpin

Kompas.com - 17/03/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Saat saya berusia 16 tahun, Bapak saya terpilih menjadi ketua RT (Rukun Tetangga) di kampung kami di Jogja. Karena kesibukan dalam pekerjaan dan menjadi pengurus di banyak organisasi lain, pada periode selanjutnya Bapak meminta agar jabatan itu dipegang orang lain.

Kebetulan dalam beberapa kesempatan sebelumnya, urusan RT seperti membuat surat, memberi cap, serta mengedarkan undangan sering ditangani kakak lelaki tertua saya. Karena dianggap sudah terbiasa dan paham dengan pekerjaan itu, warga kemudian memilih kakak saya menjadi Ketua RT menggantikan Bapak.

Belum selesai satu periode, kakak saya lulus kuliah dan bolak-balik ke Jakarta mencari kerja. Tugas sebagai ketua RT kemudian ditangani oleh kakak saya yang kedua, sampai akhirnya pada akhir periode, dia juga “dipaksa” oleh warga menggantikan posisi itu. Alasannya sama, sudah paham pekerjaannya.

Namun tiba waktunya, kakak kedua ini juga pindah karena mendapat pekerjaan di kota lain. Kembali pekerjaan sebagai ketua RT di-estafetkan. Saya sebagai anak lelaki ketiga diminta meneruskan. Namun saya menolak.

Karena tidak ada warga lain yang bersedia, akhirnya Bapak mengambil tugas itu lagi. Namun belum sampai selesai masa tugasnya, Bapak meninggal karena stroke. Dalam situasi tanpa ketua RT itu, warga pun meminta saya menggantikan posisi tersebut. Saat itu saya sudah mahasiswa.

Karena pekerjaan menjadi ketua RT saat itu tidak sulit-sulit amat, dengan warga yang tidak banyak menuntut dan berjanji akan membantu, saya akhirnya bersedia.

Dalam beberapa kesempatan, ada tamu yang bukan warga kami datang dan ingin bertemu dengan Ketua RT. Saat saya persilakan, dan saya temui, beberapa bertanya, ”Bapaknya ada?”

Saya jawab, “Bapak sudah meninggal.”

“Lho, di sini rumah ketua RT kan?”

“Iya, saya RT-nya.”

Ternyata penampilan saya waktu itu kurang meyakinkan. Orang masih mencari sosok yang lebih berwibawa dibanding mahasiswa gondrong yang sering mengenakan kaos hitam bergambar tengkorak seperti saya.

Belakangan, setelah saya juga bekerja di Jakarta, jabatan itu dipegang adik ipar saya. Ia bahkan mengungguli kami semua dengan menjabat ketua RW setelah sekian lama jadi ketua RT.

Salahkah pengalihan jabatan ketua RT itu secara turun temurun dari bapak ke anak, dari kakak ke adik? Saya rasa tidak. Toh semua melalui pemilihan secara demokratis, dan dipilih dengan suara terbanyak.

Dalam lingkup yang lebih besar, pengalihan kekuasaan antar kerabat dan keluarga juga lazim terjadi. Banyak jabatan bupati yang diteruskan dari bapak ke anak atau dari suami ke istri. Semua sah. Tak ada yang menyalahi aturan selama dilakukan secara demokratis, lewat pemilihan yang adil, yang artinya dikehendaki warganya.

Maka saat mendengar kabar bahwa mantan ibu Negara Ani Yudhoyono diusung oleh partainya, Demokrat, sebagai calon presiden tahun 2019, selasa lalu (15/3/2016), saya beranggapan hal itu boleh saja dilakukan, walau dia istri mantan presiden.

Bahwa kemudian kabar pencalonan Ani Yudhoyono dikoreksi, sebenarnya tidak ada hukum yang dilanggar bila pencalonan itu benar adanya. Di banyak negara demokratis lain, juga terjadi pengalihan tampuk kekuasaan dari ayah ke anak melalui pemilu.

Tidak ada larangan yang menyebut bahwa keluarga, kerabat, anak, suami, atau istri mantan presiden dilarang mencalonkan diri. Contohnya sudah banyak.

Di AS ada klan Kennedy, ada juga George Bush senior dan junior yang pernah jadi presiden. Di Filipina ada keluarga Aquino. Bahkan di Indonesia sendiri ada keluarga Soekarno yang bapak dan anaknya pernah memimpin negara.

Namun sampel yang paling mendekati kasus Ani Yudhoyono barangkali sepak terjang Hillary Clinton menjadi calon presiden AS setelah suaminya Bill Clinton mengakhiri jabatan selama dua periode. Dua-duanya pernah menjadi ibu negara selama dua periode, dari partai dengan nama sama, dan dari negara yang akan menghadapi pemilu.

Terkait Hillary, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf, bahkan membandingkan Ani Yudhoyono dengan Menteri Luar Negeri AS di pemerintahan Presiden Obama itu.

"Bahkan Ibu Ani bisa lebih hebat dari Hillary Clinton," ujarnya.

Menurut Nurhayati, Ani memiliki peluang yang besar untuk memenangkan pemilu presiden 2019. Dia meyakini pengalaman Ani selama sepuluh tahun mendampingi suaminya, Susilo Bambang Yudhoyono –seperti halnya Hillary mendampingi Bill Clinton--bisa menjadi modal besar.

Meski demikian, harus diingat bahwa jabatan presiden membutuhkan kecakapan lebih besar daripada sekedar mendampingi presiden sebelumnya. Jabatan ini bukan seperti jabatan ketua RT –seperti saya--yang urusannya relatif remeh temeh.

Kecakapan atau kapabilitas itu biasanya ditelusuri saat seseorang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu. Apa yang sudah dia lakukan menjadi nilai yang bisa mengangkat, atau sebaliknya menjatuhkannya.

Soal Hillary, banyak kalangan terpesona oleh rekam jejaknya. Dia tidak hanya dikenal sebagai mantan ibu negara, namun memiliki prestasi sendiri.

Hillary Diane Rodham Clinton yang lulus dari Sekolah Hukum Yale pernah menjadi first lady saat Bill Clinton menjadi gubernur Arkansas sebelum menjadi ibu negara. Ia juga terpilih menjadi Senator New York pada tahun 2000.

Setelah bergabung dengan Partai Demokrat, Hillary mengikuti Pemilu Presiden AS tahun 2008, namun dikalahkan Barack Obama.  Obama yang kemudian menjadi Presiden AS melantik Hillary sebagai Menteri Luar Negeri AS ke-67.

Dengan rekam jejak seperti itu, Hillary maju lagi sebagai calon presiden AS tahun ini. Popularitas Hillary yang tinggi sebagai kandidat presiden menunjukkan hal itu, walau entah dia bakal terpilih menjadi presiden atau tidak.

Adapun Ani Yudhoyono juga disebut memberi kontribusi besar pada pemerintahan SBY. Mantan politisi Partai Demokrat Gede Pasek Suardika bahkan menyebutkan Ani memiliki andil besar dalam keputusan-keputusan SBY.

"Dulu kan boleh dikatakan secara politis Ibu Ani is the real president. Nanti akan bisa jadi presiden real. Maknailah secara politik," kata Pasek.

Selain berdasarkan rekam jejak, elektabilitas Ani Yudhoyono Hillary, dan semua pemimpin lain juga dipengaruhi oleh masyarakat pemilih.

Kurangnya pengetahuan warga terhadap kandidat, masih maraknya politik uang, juga adanya kampanye-kampanye hitam adalah hal-hal yang membuat kita sulit mencari pemimpin yang cakap, dan mampu.

Namun dengan rekam jejak baik, pemilih di Indonesia yang semakin cerdas akan lebih mudah menentukan pilihannya.

Pepatah bahasa latin menyebutkan: “Gloria sine labore nulla” – Tanpa ada kerja, tidak ada kemuliaan.

Dalam konteks ini, mereka yang selama ini bekerja dengan benar dan sungguh-sungguh akan dimuliakan dan dipercaya rakyatnya untuk memimpin. Sedangkan yang hanya sibuk dengan pencitraan sepertinya hanya bisa mengandalkan keberuntungan semata.

Hal yang sama mestinya juga berlaku untuk Ani Yudhoyono dan semua calon pemimpin lain, … bila jadi mencalonkan diri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Jokowi Titip 4 Nama ke Kabinet Prabowo | Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

[POPULER NASIONAL] Jokowi Titip 4 Nama ke Kabinet Prabowo | Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

Nasional
Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com