Masalahnya, banyak orang yang selalu tergiur memburu takhta, dan tentu mesti lewat parpol sebagai kendaraan politik.
Menariknya, pada era pemilihan langsung, faktor "figur" jadi daya tarik tersendiri. Publik lebih memilih figur lingkaran luar ketimbang elite atau kelompok oligarkis di parpol.
Figur Joko Widodo yang sekelas kader justru jadi produk laris-manis. PDI-P menang Pemilu 2014, tetapi Jokowi yang jadi presiden. Faktor figur menggerus legitimasi parpol. Tanpa disadari oleh parpol, inilah pintu awal proses deparpolisasi.
Runyamnya lagi sebagian besar parpol bercitra buruk. Banyak kader terjerat korupsi. Politik uang menjadi virus yang menjalari sekujur tubuh parpol-parpol. Survei Populi Center, Januari 2015, menunjukkan cuma 12,5 persen responden yang percaya parpol.
DPR, tempat kerja parpol, menjadi lembaga terkorup (39,7 persen), di atas Polri (14,2 persen). Distrust terhadap parpol begitu tinggi. Perilaku korup kader justru itulah proses deparpolisasi. Sadarkah mereka?
Sekarang ini, kalaupun ada gejala deparpolisasi sesungguhnya lebih sebagai reaksi pasif terhadap perilaku buruk parpol. Jangan bayangkan gejala deparpolisasi itu seperti gerakan aktif, katakanlah semacam gerakan moral Golput (Golongan Putih) pada 1971. Golput itu bukan cuma deparpolisasi, melainkan sekaligus degolkarisasi.
Jadi, jangan salahkan jalur perseorangan. Jalur perseorangan sama konstitusional dengan parpol. Jangan cengenglah melihat fenomena Ahok. Lebih baik parpol introspeksi dan cepat berbenah agar bisa merebut kembali hati rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.