Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WAWANCARA KETUA KPK (II): "Korupsi dalam Jumlah Besar Layak Hukuman Mati"

Kompas.com - 20/02/2016, 08:08 WIB
Bayu Galih

Penulis

Soal rencana kehadiran Dewan Pengawas KPK?

Saya lihat soal ini kayak Komisi Kepolisian (Nasional) dan (Komisi) Kejaksaan. Kan enggak sampai awasi performanya kan. Kompolnas kan usulkan calon kapolri. Mana ada tugas komisi yang tugasnya seperti di draf itu?

Saya setuju awasi etika pimpinan, kalau mau memperkuat. Tapi jangan sekarang. Kita lihat UU KPK antara kewenangan dan organisasi seperti missmatch. Kewenangan kami ada lima kan, koordinasi, supervisi, pencegahan, penindakan, monitoring.

Organisasi itu (dewan pengawasa) enggak pernah ada di koordinasi dan supervisi. Monitoring malah sedikit menyimpang yang dimaksudkan UU. Karena monitoring hari ini yang ada untuk intercept. Padahal monitoring berdasarkan UU enggak loh.

Jika dewan itu ada, apa cukup dengan pengawasan saja?

Saya kira dengan mengawasi etik itu cukup. Jadi kalo memang ada hal yang dilanggar pimpinan KPK, kemudian dewan pengawas mengusulkan DPP (dewan pertimbangan pegawai), cukup.

Jadi kalau sampai pekerjaan yang detail itu, ya bukan kerjaannya. Lalu kemudian yang dimaksud organisasi independen itu apa? Karena di UU jelas sekali, KPK tidak tunduk pada kekuasaan mana pun.

Upaya yang dilakukan KPK untuk cegah revisi?

Kalau ke teman-teman DPR pesannya kan sudah nyata sekali, diundang balik, kami ngga datang. Nah kalau ke pemerintah kami memang ingin ketemu dengan Presiden.

Kemarin waktu pelantikan gubernur saya sudah sampaikan, pimpinan (KPK) ingin bertemu dengan presiden. Dijadwalkan setelah pulang dari Amerika ini.

Apa yang ingin disampaikan?

Ya keberatan kami. Ya kalau bisa meyakinkan presiden, untuk menunda dan tidak saat ini. Menolak revisi itu saat ini.

Kalau KPK lihat sikap presiden sudah ada ketegasan?

Kami ingin melihat dulu, maunya presiden apa sih.

Belum terlihat sikapnya?

Belum

Vonis terhadap koruptor semakin ringan. Menurut KPK salahnya di mana, tuntutan yang rendah atau vonis yang memang ringan?

Kalau tuntutan itu selalu dikomunikasikan ke kami (pimpinan). Kadang-kadang pasal yang disangkakan itu kami berdebat. Tapi standarnya kalau divonis kurang dari dua pertiga (tuntutan), kami selalu banding.

Ada usul perubahan UU soal jumlah minimal vonis?

Saya sudah berpikir, selain penanganan atasi lanskap permasalahan yang ada, saya juga sudah mulai berpikir...

Saya bertanya ke teman-teman ahli hukum, kalau kami mulai terapkan tuntutan mati gimana? Kan di UU KPK memang ada.

Hanya di situ pada keadaan tertentu. Sesuai penjelasan, misalnya korupsi dana untuk bencana alam. Tapi untuk saya, korupsi dalam jumlah besar pun layak. Karena kalau kita lihat laporan PPATK, hasil korupsi itu ada yang nilainya besar sekali.

Pimpinan lain sepakat soal wacana hukuman mati untuk koruptor?

Ini memang masih diskusi. Tapi belum tahu nanti finalnya seperti apa. Mungkin sudah waktunya juga berpikir itu. Kedua, pidana jangan pada orang tapi korporasi.

Bisa pidana untuk partai politik juga?

Bisa. Ya itu, pidana jangan hanya pada orang. Perusahaan yang tidak pernah melakukan pekerjaannya, padahal dapatnya besar-besar. Kalau sekali dapat bisa kontraknya Rp 40 miliar, Rp 100 miliar, tapi dilakukan orang lain. Perusahaan kontraktor, tapi enggak mau laksanakan pekerjaan, itu kan lucu.

KPK belum memulai, baru berpikir bagaimana menerapkan ini. Karena kalau diterapkan, paling tidak dalam RUPS ada sorotan kepada para direksinya, pasti diganti.

Kasus korupsi korporasi sudah lama, kenapa tidak diterapkan dari dulu?

Saya tidak tahu kenapa dulu belum diterapkan seperti itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Eks Penyidik Ingatkan KPK Jangan Terlalu Umbar Informasi soal Harun Masiku ke Publik

Eks Penyidik Ingatkan KPK Jangan Terlalu Umbar Informasi soal Harun Masiku ke Publik

Nasional
Polri Sebut Penangkapan Pegi Setiawan Tak Gampang, Pindah Tempat hingga Ubah Identitas

Polri Sebut Penangkapan Pegi Setiawan Tak Gampang, Pindah Tempat hingga Ubah Identitas

Nasional
Kisruh PBB, Afriansyah Noor Disebut Tolak Tawaran Jadi Sekjen Fahri Bachmid

Kisruh PBB, Afriansyah Noor Disebut Tolak Tawaran Jadi Sekjen Fahri Bachmid

Nasional
Ikuti Perintah SYL Kumpulkan Uang, Eks Sekjen Kementan Mengaku Takut Kehilangan Jabatan

Ikuti Perintah SYL Kumpulkan Uang, Eks Sekjen Kementan Mengaku Takut Kehilangan Jabatan

Nasional
Antisipasi Karhutla, BMKG Bakal Modifikasi Cuaca di 5 Provinsi

Antisipasi Karhutla, BMKG Bakal Modifikasi Cuaca di 5 Provinsi

Nasional
Hargai Kerja Penyidik, KPK Enggan Umbar Detail Informasi Harun Masiku

Hargai Kerja Penyidik, KPK Enggan Umbar Detail Informasi Harun Masiku

Nasional
Polri: Ada Saksi di Sidang Pembunuhan Vina yang Dijanjikan Uang oleh Pihak Pelaku

Polri: Ada Saksi di Sidang Pembunuhan Vina yang Dijanjikan Uang oleh Pihak Pelaku

Nasional
Siapa Cawagub yang Akan Dampingi Menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilkada Sumut 2024?

Siapa Cawagub yang Akan Dampingi Menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilkada Sumut 2024?

Nasional
Kementan Beli Rompi Anti Peluru untuk SYL ke Papua

Kementan Beli Rompi Anti Peluru untuk SYL ke Papua

Nasional
Polri Tolak Gelar Perkara Khusus bagi Pegi Setiawan

Polri Tolak Gelar Perkara Khusus bagi Pegi Setiawan

Nasional
Soal Target Penangkapan Harun Masiku, KPK: Lebih Cepat, Lebih Baik

Soal Target Penangkapan Harun Masiku, KPK: Lebih Cepat, Lebih Baik

Nasional
Golkar: Warga Jabar Masih Ingin Ridwan Kamil jadi Gubernur 1 Periode Lagi

Golkar: Warga Jabar Masih Ingin Ridwan Kamil jadi Gubernur 1 Periode Lagi

Nasional
Menko Polhukam Sebut Situs Judi “Online” Susupi Laman-laman Pemerintah Daerah

Menko Polhukam Sebut Situs Judi “Online” Susupi Laman-laman Pemerintah Daerah

Nasional
Pengacara Staf Hasto Klaim Penyidik KPK Minta Maaf

Pengacara Staf Hasto Klaim Penyidik KPK Minta Maaf

Nasional
SYL Disebut Minta Anak Buah Tak Layani Permintaan Atas Namanya

SYL Disebut Minta Anak Buah Tak Layani Permintaan Atas Namanya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com