Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WAWANCARA KETUA KPK (II): "Korupsi dalam Jumlah Besar Layak Hukuman Mati"

Kompas.com - 20/02/2016, 08:08 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Agus Rahardjo memang baru dua bulan menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, KPK di bawah pimpinan baru ini dinilai telah melakukan sejumlah perubahan.

Perubahan pertama terlihat pada gimmick yang ditampilkan, terutama setelah melakukan operasi tangkap tangan. KPK tidak lagi memperlihatkan barang bukti dalam konferensi pers. Selain itu, tidak terlihat juga pria bertopeng yang memamerkan barang bukti usai OTT.

Saat ditemui Kompas.com di ruangannya, di lantai 3 Gedung KPK, Selasa (16/2/2016), Agus mengakui ingin melakukan sejumlah perubahan pendekatan. 

Saat ini, KPK berusaha untuk low profile dan sebisa mungkin merahasiakan perkembangan suatu kasus. Hal ini dimaksudkan agar kasus tidak terekspose kepada publik. Tugas KPK dalam membuka jaringan koruptor pun dianggap akan lebih mudah.

"Terbuka nanti, setelah kami buka jaringannya, baru kami buka. Itu jauh lebih bermanfaat," tutur Agus, yang menerima Kompas.com di meja bundar yang dikenal "keramat" di ruangannya.

Kepada wartawan Kompas.com Wisnu Nugroho, Sandro Gatra, Bayu Galih dan Ambaranie Nadia, Agus Rahardjo juga mengungkap wacana terkait hukuman mati untuk koruptor.

Dalam perbincangan yang penuh dengan obrolan off the record, yang tentu tidak bisa kami publikasi, Agus mengungkap sejumlah kasus dengan angka korupsi yang mencengangkan.

Besarnya angka korupsi itulah yang menyebabkan Agus memikirkan cara untuk bisa menerapkan tuntutan hukuman mati kepada koruptor.

Berikut wawancara Kompas.com dengan Ketua KPK Agus Rahardjo, yang kami sajikan dalam dua bagian tulisan. Ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan:

Saat ini gimmick KPK di bawah pimpinan baru terlihat berubah. Usai OTT, tidak ada barang bukti yang diperlihatkan. Tidak ada lagi orang bertopeng yang tampil. Ini juga untuk mengurangi kegaduhan?

Saya sebetulnya, kalau bisa merahasiakan, penentuan tersangka 1x 24 jam itu enggak perlu diumumkan. Bayangan saya begini, kami kan bisa bekerja efektif kalau jaringannya belum tahu kalau kami incar. Jadi begitu ditangkap satu, langsung jaringannya dilakukan, di-intercept, penyelidikan terbuka. Itu malah jauh memudahkan kami daripada membukanya.

Makanya kan tahap pertama, saya masih mengumumkan meski hanya sedikit sekali yang saya umumkan. Lalu ada Yuyuk dan Priharsa, selanjutnya temen temen ini saja yang umumkan.

Kenapa dirahasiakan? Bukankah selama ini KPK terkenal dengan keterbukaannya?

Terbuka nanti, setelah kami buka jaringannya, baru kami buka. Itu jauh lebih bermanfaat, bukan hanya penuntutan. Biasanya kan kalau OTT langsung penyidikan, saya penginnya saat di dalam, mereka tanya jawab, dapat, dikeluarkan sprindik lagi. Keluarkan lagi (sprindik). Jadi berkali-kali sehingga kasus itu cepat tuntas. Tak hanya permukaan saja.

Pada waktu Damayanti, kan seketika kami tahu ada kontraktor lain juga yang lebih besar. Ini sebentar lagi orangnya kami naikkan ke penyidikan. Kemudian, oh anggota DPR tambah ini, ini, ini, kami naikkan.

Saya cenderung itu, nanti. Enggak lama kok waktunya. Mungkin dua bulan, tiga bulan, begitu ya. Tapi di bawah itu dibawa secara berturut-turut ke pengadilan ketimbang berlama-lama seperti dulu.

Apa keterbukaan kasus bisa mengganggu kinerja KPK?

Iya. Jadi, dalam kasus Damayanti misalnya, nanti mereka bisa mengamankan diri dong. Pada dasarnya kami tidak gegabah, perlu dua alat bukti. Pada malam itu ditanya, yang bersangkutan sudah mengungkapkan banyak. Lain dengan yang MA ini, enggak mau mengungkapkan.

Jika tertutup, bagaimana jika terjadi misleading. Waktu penangkapan pejabat MA kan media sempat menyebut bahwa yang ditangkap itu hakim agung?

Ini harus ada kebiasaan baru bagi teman penyidik. Saya dilaporkan jam 11 malam, memang laporannya Kasubdit, pengusaha, lawyer, sama sekuriti. Tapi kan yang keluar, kirim WA (pesan Whatsapp) tanya ke saya, apa itu hakim agung.

Satu, cara kami "membungkus". Dengan kondisi kantor yang seperti ini, ada yang masuk bawa "bungkusan", terus muncul spekulasi. Mereka (wartawan) juga sudah punya hubungan dengan beberapa penyidik dan kadang pekerja kita yang lain. Itu yang mungkin di gedung baru perlu lebih (diperketat).

Terkait draf revisi UU KPK. Soal izin penyadapan, apa nanti akan mengganggu kinerja?

Sangat, sangat. Kalau itu terjadi sangat mengganggu. Kerahasiaannya siapa yang bisa menjamin? itu kan kalau saya istilahnya seperti Anda satpol PP, mau razia Pasar Tanah Abang, seringkali datang ke sana sudah bersih. Karena infonya sudah tersebar.

Isi revisi kan bisa memperlemah. Tanggapan Anda seperti apa?

Harapan saya jangan diperlemah, jika isinya seperti itu. Kalau revisi jangan sekarang. Karena situasi seperti ini, itu akan banyak sekali penumpang gelap.

Kalau saya misalkan IPK kita sudah 50, misalkan ada penyelesaian dana partai, situasinya akan berbeda. Saya termasuk yang setuju partai didanai APBN, artinya mereka enggak perlu cari-cari seperti itu (korupsi).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Eks Penyidik Ingatkan KPK Jangan Terlalu Umbar Informasi soal Harun Masiku ke Publik

Eks Penyidik Ingatkan KPK Jangan Terlalu Umbar Informasi soal Harun Masiku ke Publik

Nasional
Polri Sebut Penangkapan Pegi Setiawan Tak Gampang, Pindah Tempat hingga Ubah Identitas

Polri Sebut Penangkapan Pegi Setiawan Tak Gampang, Pindah Tempat hingga Ubah Identitas

Nasional
Kisruh PBB, Afriansyah Noor Disebut Tolak Tawaran Jadi Sekjen Fahri Bachmid

Kisruh PBB, Afriansyah Noor Disebut Tolak Tawaran Jadi Sekjen Fahri Bachmid

Nasional
Ikuti Perintah SYL Kumpulkan Uang, Eks Sekjen Kementan Mengaku Takut Kehilangan Jabatan

Ikuti Perintah SYL Kumpulkan Uang, Eks Sekjen Kementan Mengaku Takut Kehilangan Jabatan

Nasional
Antisipasi Karhutla, BMKG Bakal Modifikasi Cuaca di 5 Provinsi

Antisipasi Karhutla, BMKG Bakal Modifikasi Cuaca di 5 Provinsi

Nasional
Hargai Kerja Penyidik, KPK Enggan Umbar Detail Informasi Harun Masiku

Hargai Kerja Penyidik, KPK Enggan Umbar Detail Informasi Harun Masiku

Nasional
Polri: Ada Saksi di Sidang Pembunuhan Vina yang Dijanjikan Uang oleh Pihak Pelaku

Polri: Ada Saksi di Sidang Pembunuhan Vina yang Dijanjikan Uang oleh Pihak Pelaku

Nasional
Siapa Cawagub yang Akan Dampingi Menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilkada Sumut 2024?

Siapa Cawagub yang Akan Dampingi Menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilkada Sumut 2024?

Nasional
Kementan Beli Rompi Anti Peluru untuk SYL ke Papua

Kementan Beli Rompi Anti Peluru untuk SYL ke Papua

Nasional
Polri Tolak Gelar Perkara Khusus bagi Pegi Setiawan

Polri Tolak Gelar Perkara Khusus bagi Pegi Setiawan

Nasional
Soal Target Penangkapan Harun Masiku, KPK: Lebih Cepat, Lebih Baik

Soal Target Penangkapan Harun Masiku, KPK: Lebih Cepat, Lebih Baik

Nasional
Golkar: Warga Jabar Masih Ingin Ridwan Kamil jadi Gubernur 1 Periode Lagi

Golkar: Warga Jabar Masih Ingin Ridwan Kamil jadi Gubernur 1 Periode Lagi

Nasional
Menko Polhukam Sebut Situs Judi “Online” Susupi Laman-laman Pemerintah Daerah

Menko Polhukam Sebut Situs Judi “Online” Susupi Laman-laman Pemerintah Daerah

Nasional
Pengacara Staf Hasto Klaim Penyidik KPK Minta Maaf

Pengacara Staf Hasto Klaim Penyidik KPK Minta Maaf

Nasional
SYL Disebut Minta Anak Buah Tak Layani Permintaan Atas Namanya

SYL Disebut Minta Anak Buah Tak Layani Permintaan Atas Namanya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com