Melihat konstelasi itu, tidak cukup Presiden Jokowi mengirimkan surat guna menjadi penengah-tanpa bertemu dengan Raja Salman dan Presiden Rouhani, apalagi guna menawarkan pertemuan puncak informal (KTT terbatas) di Jakarta, Istana Bogor, atau Bali?
Belum terlambat. Oportunitas diplomatik masih terbuka bagi Presiden Jokowi selewat kunjungan Menlu RI menindaklanjuti bertandang secara singkat ke Arab Saudi dan Iran sebagai gesture penengah yang secara inklusif ingin mempertemukan ke dua pihak yang berseteru dalam satu meja dialog.
Presiden Jokowi melompat jauh ke depan dengan aset kepemimpinan dan modalitas yang dimiliki. Tak hanya membuka kanal komunikasi yang lebih erat dengan Raja Salman ataupun Presiden Rouhani, tetapi juga mengenal lebih jeli titik temu di tengah nuansa perseteruannya.
Apa pun hasilnya nanti, terobosan diplomatik ini adalah langkah besar yang ditunggu sekaligus diperlukan di tengah putusnya hubungan diplomatik Saudi-Iran. Indonesia memiliki aset bangsa, kemampuan diplomatik, dan sumber daya manusia menjadi juru penengah dalam Jakarta Informal Meeting (JIM I dan II). Konflik Thailand-Kamboja dan Konflik Filipina-Moro.
Saat Saudi dan Iran tanpa hubungan diplomatik, tanpa kantor penghubung, dan tanpa komunikasi fisik para pelaku diplomasi di segala tingkatan, deklarasi dan komunike bersama Liga Arab maupun OKI tak akan mampu menjadi sarana efektif yang mendamaikan.
Maka, ini momentum tepat bagi Indonesia memfasilitasi pertemuan tingkat tinggi. Duduk bersama membicarakan jalan tengah. Membuka pintu dialog, menjalin jejak kedua bagi para tokoh agama dan jalur belakang yang bisa membuka komunikasi yang inklusif. Pembukaan kembali hubungan diplomatik Saudi-Iran adalah target akhir dari mediasi dan jalan tengah tahapan yang ditempuh. Presiden Jokowi dan Menlu RI memiliki peluang besar dalam KTT informal ini.
PLE Priatna
Diplomat dan Alumnus FISIP UI Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Jokowi dan Terobosan Diplomasi RI".