Begitu pula dengan keinginan membuat GBHN untuk mewadahi pembangun jangka panjang, semisal 30-50 tahun ke depan. Hampir dapat dipastikan gagasan ini lebih banyak hadir karena romantisisme pengalaman di bawah pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Namun perlu diingat, di era sebelumnya, terutama di era pemerintahan Presiden Soeharto, GBHN sangat mungkin membuat jangka waktu yang begitu panjang karena kekuatan politik mayoritas di MPR berada dalam kendali sepenuhnya Presiden Soeharto.
Melihat situasi politik saat ini, siapa pun yang terpilih menjadi presiden hampir dapat dipastikan tidak akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara total kekuatan-kekuatan politik di MPR. Artinya, jika terjadi pergeseran kekuatan politik di MPR karena perubahan dukungan suara pemilih di pemilu legislatif, sangat mungkin kekuatan politik baru akan mengubah GBHN yang telah ditetapkan MPR sebelumnya. Dengan demikian, gagasan membuat GBHN untuk pola pembangunan jangka panjang pasti tidak akan semudah era pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, di atas itu semua, meski dengan sesadar-sadarnya kita memerlukan arah pembangunan nasional, membayangkan GBHN dengan pola MPR sebelum perubahan UUD 1945 tentu tidak begitu tepat lagi. Yang perlu dipertimbangkan, pola GBHN dengan meletakkan peran di MPR sangat mungkin berbenturan dengan sistem presidensial yang disepakati dipertahankan saat perubahan UUD 1945. Kalau hendak mengembalikan pola lama, jalan yang harus ditempuh kembali secara utuh pada pola hubungan antarlembaga sebelum perubahan UUD 1945 atau campakkan sistem presidensial.
Langkah awal
Terlepas dari catatan di atas, saya menyarankan, langkah awal yang harus dilakukan adalah mencari sebab utama arah pembangunan yang semakin tidak padu tersebut. Misalnya, kita harus dengan jujur melihat perencanaan pembangunan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, bagaimana melihat ketersambungan antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di DPR.