Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Menghidupkan GBHN

Kompas.com - 12/01/2016, 15:32 WIB

Dengan konstruksi hukum dalam UUD 1945 tersebut, sangat kuat alasan untuk membentuk GBHN sebagai pola pembangunan nasional dalam jangka waktu tertentu. Dalam posisi sebagai pemegang daulat rakyat, lembaga negara yang tertinggi, dan yang memilih presiden/wakil presiden, MPR memiliki wewenang sangat kuat untuk mengatur penyelenggaraan negara oleh presiden. Bahkan, jika presiden melanggar haluan negara, MPR melaksanakan sidang istimewa meminta pertanggungjawaban presiden.

Kini, setelah perubahan, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tak lagi meletakkan daulat rakyat di tangan MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD 1945. Karena perubahan ini, UUD 1945 tak lagi menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga negara tertinggi. Begitu pula dalam hubungan dengan pengisian jabatan eksekutif tertinggi dalam situasi normal, MPR tidak memiliki wewenang memilih presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan posisi MPR, bagaimana mungkin menghadirkan GBHN atau pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana?

Sistem presidensial

Ketika berlangsung tahap perubahan UUD 1945 (1999-2002), salah satu kesepakatan yang diambil MPR adalah tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. Tidak berhenti sampai di situ, pilihan politik mempertahankan sistem tersebut diikuti upaya melakukan pemurnian (purifikasi). Di antara bentuk purifikasi yang dilakukan adalah mengubah model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

Pertanyaan mendasar yang harus dijelaskan: bagaimana menempatkan GBHN dalam proses pemilihan presiden secara langsung? Pertanyaan berupa gugatan tentu saja, misalnya, kapan GBHN tersebut akan disusun? Apakah disusun sebelum proses pemilihan atau setelah pemilihan presiden? Jika disusun sebelum proses pelaksanaan pemilihan, hampir dapat dipastikan semua calon hanya perlu menyampaikan dalam kampanye bahwa jika terpilih, mereka akan melaksanakan yang telah digariskan dalam GBHN.

Sebaliknya, jikalau disusun setelah pemilihan, substansi GBHN tentu lebih banyak mengakomodasi pohon janji yang disampaikan pasangan calon terpilih dalam masa kampanye. Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar, janji-janji selama kampanye pasti menjadi salah satu perimbangan penting dalam menentukan pilihan. Jikalau presiden yang terpilih tidak menunaikan janji karena tidak diakomodasi dalam GBHN, tentu saja hal itu menimbulkan rasa kecewa bagi mereka yang telah memilih.

Persoalan lain yang tidak kalah serius, membayangkan GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam posisi seperti ini, GBHN yang dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan pola sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Sekiranya ini, sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin menghindarkan pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR. Melihat perilaku sebagian kekuatan politik dan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin konsekuensi kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden. Pada saat ini, dengan hilangnya bentuk pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden pun hampir selalu berada dalam tekanan politik untuk dimakzulkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com