Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua Komisi VI: Ini Rezim Antisubsidi Sekaligus Rezim Minta Subsidi

Kompas.com - 30/12/2015, 12:53 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Langkah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memungut dana ketahanan energi dari harga premium dan solar bersubsidi terus menuai kritik.

Dengan kebijakan baru ini, setiap konsumen akan dibebankan pungutan Rp 200 untuk setiap pembelian satu liter premium dan Rp 300 untuk satu liter solar.

"Ini rezim antisubsidi sekaligus rezim minta disubsidi," kata Ketua Komisi VI DPR Hafizs Tohir dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/12/2015).

Sebelumnya, pemerintah menurunkan harga premium dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter, dan solar dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950 per liter.

Harga baru itu mulai berlaku pada 5 Januari mendatang.

Namun, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya ada di level Rp 6.950 per liter, dan solar Rp 5.650 per liter, menyusul turunnya harga minyak dunia.

Pemerintah kemudian menambah Rp 200 untuk premium dan Rp 300 untuk solar pada nilai keekonomian itu untuk dibebankan kepada rakyat.

Tambahan biaya ini merupakan dana untuk program energi terbarukan yang sedang dikembangkan pemerintah.

"Kata pemerintah, (harga BBM) mengikuti mekanisme pasar. Saat harga minyak dunia naik, cepat pula menaikkan harga BBM. Saat turun, rakyat masih disuruh menanggung," kritik politisi Partai Amanat Nasional ini.

Selain tak berpihak kepada rakyat kecil, Hafizs pun mempertanyakan dasar hukum pemerintah untuk memungut dana ketahanan energi dari rakyat.

Menurut dia, pungutan ini adalah pelanggaran terhadap undang-undang. Kebijakan ini liar karena sama sekali tidak ada dasar hukumnya, baik itu UU tentang energi maupun peraturan turunannya, seperti peraturan pemerintah (PP).

Tafsir terhadap Pasal 30 UU Energi tentang ketahanan energi yang dijadikan rujukan oleh Menteri ESDM pun, menurut dia, keliru besar.

Maksud dari ketahanan energi dalam pasal ini, pemerintah wajib menjaga ketersediaan energi yang cukup bagi rakyat dan kesiapan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu jika situasi yang tidak normal terjadi.

Tafsir berikutnya, pemerintah mengusahakan dan mengembangkan energi alternatif selain minyak dan gas, seperti potensi panas bumi, tenaga surya, dan bio energi.

"Jadi, bukan tafsirnya, kemudian memungut dana ketahanan energi (DKE) dari rakyat. Ini logika pedagang namanya. Saat subsidi BBM dicabut, ngakunya untuk pembiayaan sektor produktif. Nah, sekarang, kenapa malah rakyat disuruh menanggung DKE. Negara-negara dengan ekonomi kapitalis lberalis saja logikanya tidak seperti pemerintah sekarang ini," ujar Hafisz.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com