Kebatilan CSR
Walaupun pada tingkatan yang berbeda-beda, keempat tipologi di atas memiliki satu prinsip dasar yang sama, yakni "menciptakan kebaikan". Untuk perusahaan melalui peningkatan profit dan pemenuhan kewajiban hukum, sedangkan bagi lingkungan dan sosial melalui program yang berprinsip pembangunan berkelanjutan.
Keberlimpahan manfaat CSR dapat ditemui di berbagai sudut aktivitas perusahaan. Meski demikian, CSR juga menyimpan potensi kebatilan yang dapat menggerogoti sisi kebermanfaatannya.
Sisi gelap CSR dalam bentuk korupsi ataupun suap kini terkuak perlahan-lahan.
Masih segar di ingatan publik terkait penggeledahan Polri di kantor Pertamina Foundation karena indikasi tindak korupsi dalam pengelolaannya (Kompas, 1/9/2015). Pertamina Foudation yang dilahirkan dari visi "kebaikan CSR" terjerembap dalam kubangan kebatilan.
Makin tragis, kebatilan CSR juga menyeret rektor, pembantu rektor, dan kepala unit penerbitan Universitas Jenderal Soedirman. Mereka dihukum kurungan 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi Semarang karena terbukti korupsi dana hibah CSR Rp 2,154 miliar dari Aneka Tambang (Kompas, 11/7/2014).
Sebelum dua kasus tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah menemukan indikasi penyimpangan dana tanggung jawab sosial di industri migas hulu 2000-2006.
Sepanjang tahun itu, ada penyimpangan Rp 18 triliun dari keseluruhan anggaran Rp 122,68 triliun (BPK, 2007).
Temuan ini memicu polemik kepantasan biaya pengembangan masyarakat yang menjadi bagian cost recovery.
Akhirnya, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri No 22/2008 yang mengeluarkan biaya community development dari daftar tanggungan negara dalam bentuk cost recovery.
Pendekatan sistem
Menjadikan CSR sebagai topik pertemuan elite politik dan perusahaan merupakan indikator pendekatan "endorsing" (World Bank, 2002). Kekuatan politik memang menjadi mesin utama pendorong aktivitas CSR.
Pendekatan ini efektif memaksa dalam waktu cepat, tetapi memiliki kelemahan krusial terkait politisasi, korupsi, dan keberlanjutan program. Maka, pendekatan ini tidak direkomendasikan.
Para penganut teori sistem meyakini bahwa tujuan yang baik harus disertai dengan tata kelola kelembagaan yang baik pula. Tanpa itu, visi kebaikan berpotensi menjadi alat legitimasi untuk menguntungkan diri atau kelompok tertentu.