Kedua, kurang ada kebanggaan dan kurang menghargai bahasa sendiri serta menganggap bahasa Inggris lebih modern dan maju dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Ketiga, UU kebahasaan kita belum ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah dan aturan protokol yang jelas pelaksanaannya.
Keempat, oleh karenanya, kita belum siap dan belum banyak memiliki perangkat penerjemah profesional di kalangan pegawai negeri sipil yang khusus dididik untuk membantu pejabat tinggi kita.
Sejumlah negara telah mengembangkan pendidikan dan fasilitas khusus bagi penerjemah profesional.
Di Tiongkok, umpamanya, terdapat ribuan penerjemah profesional, termasuk penerjemah simultan yang mampu menerjemahkan secara lisan bersamaan waktu ketika kita sedang berbicara.
Semua itu hasil program pemerintah yang memang memfasilitasi lembaga pendidikan khusus yang memproduksi penerjemah.
Uni Eropa, termasuk parlemennya yang menampung anggota dari puluhan etnisitas yang berbeda bahasa, menggunakan 24 bahasa resmi dalam kerjanya dengan menggunakan penerjemah dan penerjemah simultan dari berbagai bahasa.
Anggaran yang dialokasikan khusus untuk membiayai kerja penerjemah tulis dan lisan ini mencapai lebih dari Rp 4,5 triliun per tahun. Perangkat elektronik canggih juga sekarang tersedia luas di mana-mana untuk keperluan terjemahan simultan.
Dengan adanya korps penerjemah yang fasih dan profesional, para pejabat kita akan dapat memusatkan pikirannya pada materi yang akan disampaikan tanpa terbebani energi untuk mengalihbahasakan ke dalam bahasa asing. Rakyat juga lebih bangga menyaksikan pemimpinnya menggunakan bahasa sendiri.
Abdillah Toha
Pemerhati Politik
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Bahasa Pejabat di Luar Negeri".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.