Hak atas kebebasan berserikat kian dihormati oleh negara. Tak ada lagi "wadah-wadah tunggal" yang memaksa berbagai kelompok kepentingan hanya boleh bergabung dengan satu organisasi yang dikontrol negara.
Pegawai, guru, buruh, petani, nelayan, perempuan, dan pemuda bebas memilih organisasi sesuai dengan pilihannya.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengoperasikan sistem pendidikan dan kurikulum mengenai moral, etika, dan pemikiran.
Meskipun masih terdapat kelemahan, tampak tak menyeret para peserta didik ke dalam kegaduhan politik.
Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai kalangan pun dapat belajar secara lebih terbuka.
Karena itu, patriotisme dan nasionalisme-paham yang berkaitan dengan bela negara-tak bisa lagi dimonopoli hanya oleh satu lembaga dalam situasi politik yang demokratis dan akses informasi yang begitu terbuka.
Problem sehari-hari akan menjadi realitas yang memupuk kebutuhan orang atas pentingnya patriotisme dan nasionalisme.
Dengan memahami kondisi negeri yang rawan bencana, tak sedikit orang jatuh simpati kepada para korban.
Ketika ratusan ribu orang menjadi korban kabut asap, banyak pihak mendesak pemerintah menghentikannya dan sebagian memberikan bantuan.
Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berteriak untuk menyelamatkan sumber pangan di lautan dari para maling ikan yang merajalela, banyak dukungan mengalir.
Begitu pun dengan para TKI yang terancam di negeri orang, berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan mereka.
Semangat itu juga dapat diterjemahkan ke bidang-bidang lain, seperti olahraga, kesenian dan produk seni, peningkatan daya saing, serta kecerdasan dan ilmu pengetahuan.
Artinya, dengan lebih menghormati HAM, bela negara tak perlu disempitkan hanya dengan gaya gegap gempita seperti paramiliter.
Hendardi
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Bela Negara dan HAM".