Oleh: Ignas Kleden
JAKARTA, KOMPAS - Sudah menjadi tradisi baru dalam politik Indonesia, bahwa presiden terpilih dievaluasi dari waktu ke waktu, khususnya pada tahun pertama pemerintahannya.
Hal yang sama berlaku juga untuk para menteri kabinet. Pada 100 hari pertama dievaluasi apa yang sudah tercapai, sejauh mana janji-janji kampanye direalisasikan, dan apa yang belum terwujud atau belum mendapat perhatian pemerintah. Seterusnya ada penilaian kembali pada setiap kuartal, yang didukung oleh hasil survei lembaga-lembaga penelitian.
Pada hari-hari ini perhatian publik terpusat pada apa yang sudah atau belum tercapai dalam satu tahun pemerintahan Joko Widodo bersama kabinetnya.
Kesimpulan umum dari berbagai evaluasi menyatakan bahwa dalam bidang politik konsolidasi dan stabilitas politik berjalan aman, sedangkan ekonomi memperlihatkan banyak kesulitan akibat menurunnya angka pertumbuhan, meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan naiknya angka pengangguran sebagai konsekuensinya.
Data yang dimuat Kompas, misalnya, memperlihatkan bahwa dalam kuartal pertama dan kedua 2015, laju pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen dan 4,67 persen. Angka-angka itu berada jauh di bawah laju pertumbuhan yang ditetapkan dalam APBN, yaitu 5,7 persen. Sementara itu, pengangguran terbuka telah menimpa 7,45 juta orang pada Februari 2015 (Kompas, 20/10/2015).
Politik dan ekonomi selalu berhubungan erat. Asumsi tentang pentingnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagai prasyarat bagi stabilitas politik, masih dianut oleh para eksekutif tinggi, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya.
Anggapan ini berbeda dari anggapan yang dianut dalam pemerintahan Presiden Soeharto, karena pada masa itu politik yang stabil dianggap jaminan bagi pertumbuhan ekonomi yang tak terganggu.
Jadi, bukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menjadi jaminan bagi stabilitas politik, melainkan sebaliknya, stabilitas politiklah yang menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi, sedangkan stabilitas politik dianggap dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik sendiri, seperti penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya oposisi politik, penerapan asas kebebasan yang bertanggung jawab bagi pers serta penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan.
Kinerja tahun pertama
Dalam masa pemerintahan Jokowi, pengaruh politik terhadap ekonomi, khususnya ekonomi uang menjadi lebih langsung, karena turun-naiknya nilai saham dan ada-tidaknya investasi ditentukan secara langsung oleh persepsi tentang keadaan politik, yaitu oleh tanggapan pasar.