Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wapres Tidak Setuju Langkah Kementerian BUMN Lakukan "Buyback"

Kompas.com - 09/09/2015, 15:35 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai buyback atau pembelian saham kembali bukan langkah yang tepat dalam menghadapi lesunya perekonomian nasional. Menurut Kalla, buyback hanya akan memanjakan pasar yang pada akhirnya menguntungkan investor asing.

Hal ini dikarenakan pasar saham dalam negeri sebagian besar dikuasai investor asing.

"Pasar saham kita 70 persen asing, berbeda dengan China yang 90 persen household (punya lokal). Jangan mencoba untuk buyback, tidak ada urusan kita untuk buyback karena itu namanya melayani orang yang di luar agar jangan rugi," kata Kalla saat menghadiri bedah buku Reinventing Indonesia di Kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta, Rabu (9/9/2015).

Menurut Kalla, pendekatan moneter bukan cara yang tepat dalam menyelesaikan suatu krisis ekonomi. Sedianya, kata Kalla, krisis ekonomi dihadapi dengan meningkatkan produktivitas sektor riil. Dengan demikian, ketergantungan Indonesia terhadap investor asing bisa berkurang. Perekonomian nasional pun akan memiliki daya tahan yang tinggi.

Wapres juga menekankan perlunya pemerintah belajar dari pengalaman menghadapi krisis ekonomi 1998. Menurut dia, kesalahan pemerintah ketika itu adalah terlalu percaya terhadap Dana Moneter Internasional (IMF). Kalla bahkan menyebut IMF berdosa besar dalam sejarah perekonomian nasional.

"Kita pada waktu itu terlalu percaya kepada IMF. Waktu itu saya ketemu Lagarde (Direktur Pelaksana IMF-Christine Lagarde), saya bilang, 'Anda punya dosa yang tinggi, Anda ingin selesaikan sesuatu dengan moneter saja'," ucap Kalla.

Akibat berutang kepada IMF, negara harus membayarkan utang tersebut beserta bunganya dalam jangka panjang. Selain utang IMF, Kalla kembali menyinggung kesalahan pemerintah yang menjamin perbankan pada 1998 sehingga berujung pada skandal utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Menurut Kalla, kebijakan blanket guarantee (penjamin secara menyeluruh) rawan disalahgunakan. (Baca: "IMF Bagaikan Rumah Sakit yang Makin Membuat Pasien Sekarat")

Akibat kebijakan itu, para pengusaha seolah merampok banknya sendiri dan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang membayarkan kewajiban akan utang para pengusaha perbankan tersebut. Pada saat krisis 2008, Kalla pernah menolak untuk memberikan penjaminan penuh terhadap deposan bank (blanket guarantee) semacam itu. Ia menganggap penjaminan semacam itu sebagai pemicu kehancuran ekonomi nasional.

"Sehingga mudah-mudahan ini tidak pernah terjadi lagi, sangat berisiko sekali. Bayangkan, kita menjamin bank asing, bank orang paling kaya, apa urusannya kita menjamin seperti itu?" ucap Kalla.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menyatakan bahwa pemerintah melakukan buyback emiten pelat merah. Untuk itu, dialokasikan dana Rp 10 triliun yang diambil dari dana pensiun, asuransi, dan kas internal perusahaan BUMN. (Baca: Menteri BUMN: BRI dan BNI Siap Lakukan "Buyback")

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
'Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo'

"Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo"

Nasional
Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Nasional
Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com