Pada penetapan pasangan calon, Senin (24/8), Komisi Pemilihan Umum mencatat, setidaknya ada tambahan tiga daerah yang kekurangan pasangan bakal calon, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Minahasa Selatan, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menyebutkan, syarat pencalonan dari partai politik yang tak lengkap menjadi salah satu penyebab utama sebagian pasangan calon dinyatakan tak memenuhi syarat.
Di daerah itu, KPU daerah kembali membuka pendaftaran selama tiga hari. Jika tak ada tambahan bakal calon yang mendaftar dan lolos verifikasi berkas, pilkada bakal ditunda hingga putaran pilkada berikutnya tahun 2017.
"Ternyata saat ini partai politik sebagai fasilitator belum bisa menyediakan (pasangan calon) sesuai dengan harapan. Secara umum kita bisa mengatakan kelangsungan demokrasi kita di mana pemilih memilih sendiri calonnya dalam wujud pilkada langsung belum sepenuhnya terwujud," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, Senin.
Padahal, partai politik sudah mendapat banyak fasilitas dari pemerintah. Mulai tahun ini, kata Masykurudin, alat peraga kampanye didanai pemerintah daerah sehingga seharusnya bisa menghemat dana kampanye, baik calon maupun partai politik. Namun, kesempatan itu tak banyak disambut partai politik. Setelah penetapan calon, ada 91 daerah yang hanya punya dua pasangan calon.
Siti Zuhro, peneliti senior Pusat Penelitian Politik pada LIPI, melontarkan pertanyaan yang menohok. Apa pelajaran yang bisa diambil dari pelaksanaan pilkada serentak? Apakah bedanya dengan sekitar 1.000 pilkada hampir satu dekade terakhir? Menurut Siti Zuhro, semangat pilkada langsung itu seharusnya adalah pembelajaran demokrasi di tingkatan lokal. Namun, sayangnya perhitungan partai politik yang bisa dilihat masyarakat saat ini hanya soal menangkalah.
Belakangan muncul usulan agar melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang diatur mekanisme agar daerah dengan calon tunggal tetap bisa menjalani pilkada serentak, baik melalui kontestasi bumbung kosong maupun penetapan langsung. Namun, menurut Siti Zuhro, hal itu tak sesuai semangat pilkada langsung karena menghilangkan makna kontestasi. Solusi tersebut juga tak menyelesaikan persoalan karena belum menyentuh episentrum masalah, yakni partai politik.
Misalnya, saat regulasi mengadopsi calon tunggal melalui penetapan langsung, bukan tidak mungkin muncul "siasat licin". Ada pasangan calon dengan kemampuan finansial besar memborong "perahu" parpol sehingga tak ada calon lain yang bisa maju. Calon bisa melenggang santai menunggu ditetapkan sebagai calon. Masyarakat pun lalu hanya bisa gigit jari.
Kini diharapkan partai politik dan pemangku kepentingan lainnya bisa kembali ke khitah pilkada langsung, yaitu memberi kedaulatan kepada rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa memilih calon terbaik. Tanpa itu, jangan-jangan kekhawatiran Siti Zuhro benar-benar terjadi, bakal ada pembusukan sistem pilkada langsung. Jika itu benar terjadi, tentu kini Anda tahu siapa yang harus bertanggung jawab.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2015, di halaman 5 dengan judul "Partai Politik yang Setengah Hati".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.