Demikianlah, karena korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, KPK yang diserahi tugas untuk menangani korupsi. Lembaga ini lalu dibekali dengan wewenang yang lebih besar daripada lembaga penegak hukum lainnya.
Cita-cita ideal itu perlu menjadi rujukan terus-menerus bagi Pansel KPK sehingga dalam melakukan penjaringan calon pimpinan KPK mereka perlu menimbang secara matang aspek integritas calon. Pasalnya, dengan wewenang yang besar, minus integritas yang baik, pimpinan KPK bisa serta-merta menyalahgunakan kekuasaannya. Walaupun di sisi lain UU KPK telah mengantisipasi adanya potensi abuse of power dengan membangun mekanisme kepemimpinan yang kolektif dan kolegial, yang memiliki makna kesetaraan antara satu pimpinan dan pimpinan yang lain dalam pengambilan keputusan sekaligus sebagai mekanisme kontrol internal.
Integritas calon pimpinan KPK tidak dapat digadaikan dengan kemampuan teknis-prosedural, plus dengan pengalaman kerja sekalipun. Oleh karena itu, jika ada opini yang berkembang bahwa calon pimpinan KPK harus berasal dari institusi hukum tertentu—karena KPK adalah lembaga penegak hukum sehingga dibutuhkan pimpinan KPK yang memahami teknis-prosedural penanganan korupsi, kita perlu kembalikan perdebatan ini pada kriteria calon pimpinan KPK serta definisi pimpinan KPK sebagaimana UU KPK telah sebutkan. Paling tidak, secara tekstual, tak satu pun frase dalam UU KPK yang menyebutkan atau mengharuskan hal itu.
Fakta empiris
Fakta empiris perjalanan KPK selama lebih kurang 10 tahun sejak berdirinya juga setidaknya membeberkan jawaban atas perdebatan mengenai komposisi pimpinan KPK. Pada era pimpinan KPK jilid I, bidang penindakan ditangani langsung oleh Tumpak Hatorangan Panggabean, yang kebetulan adalah seorang jaksa. Akan tetapi, fakta bahwa Tumpak akhirnya dipilih adalah karena perkawinan dari banyak pertimbangan, salah satunya karena karakter pribadinya yang kuat serta integritasnya.
Demikian halnya pada pimpinan KPK jilid II, Chandra M Hamzah yang berlatar belakang advokat menjadi penanggung jawab bidang penindakan. Kinerja KPK dalam penanganan kasus korupsi tak terbantahkan kian moncer, apalagi KPK mulai aktif menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum. Pun pada KPK jilid III ketika Bambang Widjojanto yang berlatar belakang campuran, yakni aktivis-pengacara, mulai lebih banyak menginisiasi pendekatan operasi tangkap tangan yang terbukti efektif dalam mengungkap korupsi.
Dengan merujuk keterangan di atas, sesungguhnya perdebatan dan penegasan bahwa pimpinan KPK harus berasal dari lembaga penegak hukum tertentu secara empiris telah terbantahkan. Justru sebaliknya, serangan yang kian deras kepada KPK, hingga berujung pada kriminalisasi pimpinan KPK, tidak kemudian menjadi justifikasi bagi Pansel KPK untuk mencari sosok pimpinan KPK yang dapat "berkompromi". Sosok pimpinan KPK yang ada, terlepas dari beberapa kekurangannya, sebenarnya telah memberikan kontribusi yang jelas pada agenda pemberantasan korupsi.