JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara mantan Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra menilai, sikap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tidak konsisten atas putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, Kejaksaan hanya mengamini segala keputusan yang dianggap menguntungkan diri sendiri.
"Kadang saya beranggapan kejaksaan inkonsisten. Kalau (ada putusan) yang membuat jaksa senang dilaksanakan, diakui. Kalau yang membuat mereka tidak senang, tidak diakui atau tidak dilaksanakan," kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/7/2015).
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2014 menetapkan jika penetapan tersangka masuk ke dalam objek praperadilan. Putusan tersebut secara langsung menambahkan klausul di dalam Pasal 77 KUHAP yang sebelumnya belum mengatur hal itu.
"Permasalahannya, jaksa kita itu tidak mau mengakui putusan MK. Jadi mereka tetap menggunakan ketentuan KUHAP sebelum adanya putusan," ujarnya.
Yusril pun mengingatkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Ia mengaku heran dengan sikap kejaksaan yang justru tidak menganggap putusan itu.
"Di negara Republik Indonesia ini, baru sekali saya dengar dalam persidangan, Kejaksaan Agung melalui kejaksaan tinggi mengatakan tidak mematuhi putusan MK. Ini sesuatu yang agak luar biasa dalam kehidupan penegakkan hukum di Indonesia," ujarnya.
Dahlan sebelumnya mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Selatan pada Jumat (3/7/2015), atas penetapannya sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun. Penganggaran proyek itu diduga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Namun, Kejati DKI yang menangani kasus itu menilai penetapan tersangka bukan termasuk obyek praperadilan. Di dalam eksepsinya, Kejati DKI menyatakan, Pasal 77 KUHAP telah membatasi wewenang lembaga praperadilan dalam menangani gugatan yang diajukan.
"Putusan MK tidak berlaku serta merta dalam proses pidana. Sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 maka kekuasaan membentuk UU merupakan kekuasaan DPR bersama Presiden. Sebelum terbentuk UU baru yang mengatur wewenang praperadilan, maka pembatasan hukum acara pidana tentang praperadilan tidak dapat disimpangi," kata anggota tim hukum Kejati DKI Jakarta Martha Berliana saat membacakan jawaban atas gugatan praperadilan Dahlan Iskan di PN Jakarta Selatan, Senin (27/7/2015). (Baca juga: Bantah Yusril, Kejati Nyatakan Penetapan Tersangka Dahlan Iskan Tidak Tiba-tiba)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.