JAKARTA, KOMPAS.com - Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum mantan Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, meyakini bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan membatalkan status tersangka kliennya. Dahlan dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk kasus dugaan korupsi pengadaan gardu induk PLN.
"Kami punya cukup alasan (untuk PN Jaksel) batalkan status tersangka Dahlan Iskan oleh Kejati DKI," kata Yusril, usai sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (27/7/2015).
Yusril mengungkapkan, dirinya yakin PN Jaksel akan mengabulkan permohonan Dahlan Iskan untuk membatalkan status tersangkanya karena penetapan tersangka itu bertentangan dengan KUHAP. Menurut Yusril, Kejati DKI Jakarta menetapkan Dahlan sebagai tersangka tanpa proses penyelidikan dan tanpa memiliki bukti yang mencukupi.
"Sesuai keputusan MK tentang alat bukti yang dijadikan dasar menetapkan tersangka harus terpenuhi dan mengacu Pasal 184 KUHAP," ujarnya.
Yusril juga mengomentari argumentasi Kejati DKI Jakarta dalam sidang praperadilan di PN Jaksel. Ia menilai argumentasi Kejati DKI dalam menetapkan Dahlan sebagai tersangka telah masuk pada pokok perkara yang seharusnya hanya dapat disampaikan saat kasus yang dituduhkan telah dialihkan ke pengadilan.
Selain itu, Yusril juga menyayangkan pernyataan Kejati DKI Jakarta yang menolak mengakui putusan MK bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan.
"Itu suatu kekeliruan kejaksaan. Kejaksaan tidak konsisten, penetapan tersangka bukan objek praperadilan itu tidak benar. Kalau fakta-fakta sidang, kami yakin argumentasi kami kuat," ungkap Yusril.
Gugatan praperadilan didaftarkan Dahlan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (3/7/2015). Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun.
Penganggaran proyek 21 gardu induk itu diduga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Menurut Pasal 5 dalam peraturan itu, KPA wajib mengeluarkan surat tanggung jawab dan pernyataan bahwa pengadaan/pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur sudah dituntaskan. Setelah ada surat itu, Menteri Keuangan menyetujui sistem penganggaran proyek.
"Ini pembebasan lahannya banyak yang belum tuntas. Namun, ada surat dari KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) yang menyatakan bahwa lahan sudah siap sehingga Kementerian Keuangan setuju," ucap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman seperti dikutip harian Kompas.
Terkait sistem pembayaran, menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, pembayaran dilakukan sesuai dengan perkembangan proyek.
"Di proyek ini, banyak pekerjaan yang belum dikerjakan, tetapi sudah dibayar dengan alasan untuk membeli material. Ini tak bisa dilakukan karena uang negara keluar dan tak ada hasilnya," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.