JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta membantah Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan ketidakabsahan penetapan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Dahlan Iskan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gardu induk PLN. Menurut kejaksaan, penetapan Dahlan sebagai tersangka telah melalui proses seperti yang diatur dalam KUHAP.
Dalam sidang praperadilan yang diajukan Dahlan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kejati DKI Jakarta menyatakan bahwa pejabat pembuat komitmen telah melakukan pembayaran untuk tiga lokasi meski pengadaan gardu induk PLN tersebut tidak terlaksana pada 2011. Menurut kejaksaan, pembayaran dilakukan dengan maksud menunjukkan pembangunan gardu tersebut telah terlaksana.
"Bukti lain adalah kontrak dan dokumen pembayaran uang muka dan pembayaran termin satu," kata Mohammad Sunarto selaku juru bicara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (27/7/2015).
Sunarto menuturkan, ada juga keterangan dari 11 saksi terkait kasus yang dituduhkan pada Dahlan. Selain itu, ada juga sejumlah dokumen yang dapat dijadikan bukti dan alasan kuat menetapkan Dahlan sebagai tersangka.
"Dari penyidikan ditemukan bukti dan ditetapkan 15 pelaku tersangka. Bukti-bukti mengarah pada pertanggungjawaban Dahlan Iskan. Penetapan tersangka ini tidak dilakukan secara tiba-tiba karena telah ada proses sebelumnya," ujarnya.
Dalam sidang yang sama, Yusril selaku kuasa hukum Dahlan menyatakan bahwa kejaksaan tidak memiliki alasan dan bukti hukum yang kuat serta menetapkan Dahlan sebagai tersangka. Penetapan status tersangka itu tidak sesuai dengan Pasal 183 dan 184 KUHAP.
Gugatan praperadilan didaftarkan Dahlan ke PN Jaksel pada Jumat (3/7/2015). Dahlan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun. Penganggaran proyek 21 gardu induk itu diduga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Menurut Pasal 5 dalam peraturan itu, konsorsium pembaharuan agraria (KPA) wajib mengeluarkan surat tanggung jawab dan pernyataan bahwa pengadaan/pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur sudah dituntaskan. Setelah ada surat itu, Menteri Keuangan menyetujui sistem penganggaran proyek.
"Ini pembebasan lahannya banyak yang belum tuntas. Namun, ada surat dari KPA, yang menyatakan bahwa lahan sudah siap, sehingga Kementerian Keuangan setuju," ucap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman seperti dikutip harian Kompas.
Terkait sistem pembayaran, menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, pembayaran dilakukan sesuai dengan perkembangan proyek. "Di proyek ini, banyak pekerjaan yang belum dikerjakan, tetapi sudah dibayar dengan alasan untuk membeli material. Ini tak bisa dilakukan karena uang negara keluar dan tak ada hasilnya," kata Adi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.