Selain itu, ditetapkannya posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) dalam UU No 2/2002 tanpa "pengikat" (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai alat kepentingan politik presiden juga dapat mengganggu netralitasnya dalam menjalankan tugas. Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1) yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi jauh-jauh hari sudah mulai mendekati partai politik tertentu untuk memuluskan kariernya. Efek sampingnya adalah timbul semacam faksi-faksi atau patron-patron dalam pengembangan karier sehingga persaingan pun berlangsung tidak sehat (tidak mandiri).
Kekuasaan besar yang diamanahkan kepada Polri sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 tanpa disertai pengawasan yang kuat dan pemberian sanksi yang tegas atas pelanggarannya berpengaruh pula terhadap netralitas kepolisian.
Kekuasaan besar polisi itu bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi. Apakah polisi bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau kepada publik? Meskipun pada Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, pasal ini tak secara tegas mengatur pertanggungjawaban institusional (Makmur Keliat, 2005).
Netralitas polisi juga dipengaruhi sistem anggaran yang diatur dalam UU No 2/2002. Dalam undang-undang itu tidak dirumuskan secara jelas (dalam satu pasal) pendanaan APBN untuk tugas-tugas kepolisian. Demikian pula tidak ada satu pun pasal yang mengatur bagi setiap anggota kepolisian berhak untuk memperoleh penghasilan yang layak sesuai dengan beban tugasnya dan dibiayai dari anggaran yang bersumber dari APBN. Hanya Pasal 26 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak, sedangkan dari mana sumbernya tidak jelas (Sri Yunanto, 2005).
Ketidakjelasan aturan itu seolah memberi peluang bagi polisi mendapatkan sumber dana yang berasal dari masyarakat (terutama pengusaha) dengan alasan karena kekurangan biaya operasional yang sering disebut dengan istilah "parman" (partisipasi teman). Adanya peluang dalam undang-undang untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-sumber non-negara jelas merusak netralitas kepolisian. Dalam jangka panjang keamanan akan menjadi masalah yang sangat serius, yaitu warga yang memperoleh rasa aman adalah warga yang dapat membayar polisi.
Polisi bukan politisi
Kepolisian di negara demokrasi diidentifikasikan sebagai lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Dilema yang melekat pada fungsi ini adalah ciri arcanum aksi kepolisian, di mana ia bekerja pada ruang privat, tetapi menimbulkan efek pada ruang publik. Aksi kepolisian dalam mengelola kekuasaan yang diberikan sangat mungkin menghilangkan rasa aman seseorang atau sekelompok orang. Inilah yang menimbulkan kesan terhadap kepolisian sebagai "alat kekuasaan".