Antagonisme fungsi kepolisian (yudisial) dengan fungsi pemerintahan (executive) ada sejak kelahirannya. Dalam komunitas yudisial, polisi bekerja melalui orientasi moral dengan acuan kerja salah atau benar, sedangkan dalam komunitas eksekutif, pemerintah, bekerja melalui orientasi politik dengan acuan kalah menang. Kontradiksi ini melekat pada fungsi masing-masing, tetapi tidak berarti bahwa dalam praktik hal itu tidak bisa diatur. Untuk mengatasi hal itu bisa dilakukan dengan membangun relasi-relasi antarwarga dalam community policing, misalnya. Negara memiliki hak untuk mengintervensi individu demi stabilitas dan harmoni bagi seluruh warganya. Menurut pandangan ini, demi tercapainya rasa aman, masyarakat bersedia menukar hak asasinya melalui proteksi dari negara. Dengan catatan negara (cq pemerintah) bertindak adil dan menindak tegas aparatnya yang melanggar hak asasi manusia.
Kesulitan penerapan aksi kepolisian ini terkait bagaimana mendeteksi gangguan secepat mungkin pada ruang publik, sementara tindakannya terarah pada individu yang berarti ikut campur ke dalam ruang privat. Dalam rangka deteksi dini, kebutuhan informasi dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat pun ditembus lewat aksi di luar kontrol publik. Di sini ada nuansa tersembunyi, di mana aksi kepolisian melampaui batas-batas hak asasi manusia. Aksi ini jelas bertentangan dengan ketentuan penegakan hukum.
Seidman (1971) menjelaskan bahwa meskipun penegakan hukum dan ketertiban masyarakat bersifat normatif, kewenangan polisi untuk kepentingan itu bersifat politis. Dalam hal ini penegakan hukum dan ketertiban masyarakat mendapat prioritas menjadi hak kolektif seperti national self determination, sama halnya dengan hak asasi manusia yang bersifat universal karena mengacu pada hak-hak yang mewakili seluruh umat manusia. Untuk memilah tindakan polisi yang bersifat normatif dengan tindakan yang bersifat politis diperlukan lembaga kontrol yang independen dan kuat.
Di sinilah kontrol terhadap polisi itu dikembalikan kepada civil liberty, seperti hak milik privat. Setiap intervensi polisi terhadap warga masyarakat (sipil) dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat sebenarnya merupakan campur tangan ke wilayah privat. Karena itu, polisi harus menjadi "cermin" dari kepentingan masyarakat sipil (civil society), bukan kepentingan elite politik meskipun organ kepolisian ciptaan politik sebagai the condition of impossible dari aplikasi legislasi equality dan individual autonomy.
Titik rawan aturan-aturan di dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kaitan dengan netralitas polisi terletak pada perumusan yang bersifat vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan, kewenangan, dan pengawasannya. Dalam negara demokrasi, lembaga kepolisian tidaklah berdiri sendiri dalam membangun moral kolektif. Banyak lembaga lain (formal dan nonformal) terlibat di dalamnya.