Peneliti MaPPI FHUI, Evandri G Pantouw, mengatakan, ketidakpastian dan kekisruhan hukum ini harus diselesaikan Mahkamah Agung. "MA memiliki fungsi menjaga kesatuan dan penerapan hukum," katanya. Perbedaan putusan di PN Jakarta Selatan dengan PN Purwokerto, Pontianak, dan Sumedang bisa menimbulkan penilaian publik bahwa tidak ada kepastian dalam hukum.
Menurut Harifin, kini yang paling penting adalah sikap MA. "Apakah MA setuju putusan (Sarpin dalam persidangan permohonan praperadilan Budi Gunawan) itu atau tidak. Apakah melampaui kewenangan atau melanggar hukum? Kalau MA menganggap benar, upaya hukum lain (atas putusan praperadilan Budi Gunawan) tidak ada gunanya," ujarnya.
Namun, jika MA tak setuju dengan putusan Sarpin, menurut Harifin, sebenarnya bisa saja mereka mengoreksinya dengan cara melakukan pengawasan karena menilai hakim telah menyimpang dari aturan yang ada atau dengan cara menyatakan bahwa putusan praperadilan Budi Gunawan tidak bisa dieksekusi karena melanggar UU.
KPK pun pernah meminta agar MA menerbitkan surat edaran yang menyatakan bahwa penetapan tersangka bukan obyek praperadilan. Menurut Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP, permintaan tersebut, antara lain, memang didasari oleh antisipasi terhadap kemungkinan banyaknya permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi di KPK.
Sekarang tinggal bagaimana MA memutuskan untuk mengakhiri ketidakpastian dan kekisruhan hukum acara pidana dalam permohonan praperadilan. Selama belum ada kepastian tersebut, gelombang praperadilan tak hanya akan dihadapi oleh KPK. Penegak hukum setingkat kepolisian sektor pun akan dibuat sibuk oleh para tersangka tindak pidana.
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Selasa (31/3/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.