JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, dalam menekankan pelaksanaan eksekusi mati, Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak sadar bahwa 229 warga negara Indonesia saat ini terancam untuk dieksekusi mati di negara lain.
"Saat Indonesia menunjukkan kekuatannya terhadap para terpidana, pemerintah tidak sadar ada 229 WNI terancam hukuman mati di negara lain. Apa yang nantinya bisa dikatakan pemerintah saat lakukan pembelaan?" ujar Erasmus saat ditemui di Kantor Human Rights Working Group (HRWG), Jakarta Pusat, Senin (9/3/2015).
Erasmus menjelaskan, dari total warga negara yang terancam hukuman mati, sebanyak 131 orang merupakan terpidana dalam kasus narkotika. Ia mengatakan, dalam hal ini, Presiden Joko Widodo akan kesulitan untuk memberikan bantuan hukum bagi warga negaranya yang terancam hukuman mati. (Baca: Dari 229 WNI yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri, 57 Persen Terkait Narkoba)
Selain itu, secara spesifik, Erasmus mengomentari pembatasan jumlah pengajuan peninjauan kembali (PK), yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014. Menurut dia, aturan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memenuhi prinsip fair trial dalam pemenuhan hak sesuai prosedur hukum bagi para terpidana.
"PK tidak boleh lebih dari satu kali membatasi hak warga negara untuk memperoleh keadilan. Fair trial tidak dijamin di Indonesia. Jokowi harus jelaskan bagaimana menyelamatkan WNI di luar negeri yang akan dihukum mati," kata Erasmus. (Baca: Pemerintah Janji Dampingi 229 WNI yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.