Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Tahun Politik 2014

Kompas.com - 02/01/2015, 21:12 WIB

Oleh Yunarto Wijaya

KOMPAS.com - TAHUN 2014 benar-benar menjadi tahun politik bukan sekadar karena adanya pemilu, melainkan karena hampir semua segi kehidupan warga bak tersedot dalam pusaran kontestasi politik. Sebagian elite politik dominan memacu kereta kekuasaannya seperti khawatir terkejar oleh bayangan dirinya sendiri. Sebagian besar warga tunggang langgang mencari esensi peristiwa yang kerap tak lagi bisa dinalarnya dengan akal-budi.

Tahun 2014, harapan dan kejumudan politik silih berganti hadir menerbitkan kegembiraan berpolitik, tetapi sekaligus juga kecemasan yang mulai tak bertepi.

Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 kian mengokohkan posisi pemilu sebagai instrumen demokrasi. Dalam pemilu legislatif, penghukuman terhadap petahana telah terjadi. Namun, bersamaan dengan itu, personalitas figur tetap menjadi penentu terdongkraknya atau tertahannya suara parpol kontestan pemilu.

Dalam pilpres, polarisasi dukungan di antara kedua kubu tak berakhir dengan konflik horizontal. Sebagian besar pemilih dari dua kubu bisa menerima hasil akhir. Namun, momen pilpres kali ini juga memberikan pelajaran tersendiri.

Pertama, pilihan perkubuan lebih dominan berdasarkan pertimbangan transaksi politik alih-alih kesamaan nilai dan gagasan. Sebagai akibatnya, para elite politik kerap gagap dan tak jarang terlihat rikuh karena harus membenarkan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan nilai dasar yang dianutnya dan atau kebijakan yang ingin dan atau telah diterapkannya.

Lebih daripada itu, kedua, Pilpres 2014 menjadi penanda kembalinya nilai-nilai primordial dalam berpolitik (etnis, suku, dan golongan) sebagai  pendongkrak perolehan suara yang penting. Yang mencemaskan dari situasi ini bukanlah penguatan nilai-nilai primordial itu sendiri, melainkan terjadinya manipulasi yang memanfaatkan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information). Manipulasi ini terkait ”isu agama” dan ”kepentingan internal PNS” yang mampu mengecoh sebagian pemilih dan karena itu menjadi penggerak perolehan suara yang cukup signifikan, terutama bagi pasangan kontestan tertentu.

Meski telah menjadi instrumen demokrasi, pemilu belum lagi menjadi ruang kontestasi gagasan. Pemilu belum menjadi ruang kontestasi beragam kelompok yang ada di Tanah Air. Karena itu, pemilu belum menjadi momen bagi warga sebuah bangsa untuk kembali merumuskan batasan-batasan dan bentuk-bentuk sosial politik yang dikehendakinya bersama.  

Pasalnya, parpol dan elite politik masih terlalu sibuk melakukan strategi ”zig-zag” terhadap nilai-nilai dasar yang mereka tuliskan dan suarakan. Akibatnya, setiap gagasan penting dapat mereka tafsirkan sekehendak hati sesuai selera pemilih yang dijadikan target suara. Persisnya, tidak ada keberanian untuk melakukan aksi komunikasi politik yang jernih.

Sebagai pemilih, kita hanya bisa meraba-raba bagaimana sikap parpol dan atau kandidat politik terhadap hal-hal yang saat ini relevan bagi kehidupan berbangsa. Dengan keterbatasan yang ada, kita terdorong untuk memercayai apa yang kita ingin yakini belaka, bukan karena kebenaran faktualnya.

Sebagai pemilih, kita sulit memperoleh kepastian bagaimana sebenarnya sikap parpol dan elitenya terhadap isu-isu kontemporer (sikap terhadap KPK, pilkada langsung, subsidi BBM) ataupun yang menyangkut visi kenegaraan (posisi agama dalam negara, posisi eksekutif dengan legislatif, posisi MPR dan DPD, dan juga segala sesuatu yang bertautan dengan praktik bernegara ala Orde Baru). Kekaburan posisi atas gagasan ini yang kemudian menumbuhsuburkan berbagai akrobat politik yang ganjil, menggelikan, sekaligus mengibakan.

Bangkitnya daulat elite

Di parlemen, polarisasi dalam pilpres dilanjutkan secara bertubi-tubi. Manuver legislasi dilakukan terutama dengan pertimbangan ”kita versus mereka”. Praktik sistem parlementer diterapkan meski di lain kesempatan kedua belah kubu koalisi terus berkoar bahwa sebagai bangsa, kita harus kembali pada Pancasila.

Dalam situasi ini kita sebagai warga menyaksikan bagaimana salah satu buah reformasi politik 1998 hendak kembali diberangus. Gagasan pemberangusan ini menjadi tragedi karena juga dipekikkan oleh sebagian elite yang dulu berperan sebagai aktor dalam gerakan reformasi, baik mereka yang dulu menggalang kekuatan di akar rumput maupun mereka yang didapuk menjadi simbol gerakan. Ya, pilkada langsung hendak kembali diberangus dengan berbagai dalih dan alibi.

Penghapusan pilkada langsung dapat dimaknai sebagai bentuk penghukuman oleh sebagian elite terhadap pemilih. Rakyat dihukum karena telah mempermalukan elite. Rakyat dihukum karena tak mau lagi tunduk pada simbol-simbol kuasa yang melekat pada pembesar negeri. Secara politik, penghapusan pilkada langsung perlu dilihat sebagai sebuah mata rantai dari cita-cita politik untuk mengembalikan daulat elite yang kian tergerus proses demokratisasi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com