KOMPAS.com -
TAHUN 2014 benar-benar menjadi tahun politik bukan sekadar karena adanya pemilu, melainkan karena hampir semua segi kehidupan warga bak tersedot dalam pusaran kontestasi politik. Sebagian elite politik dominan memacu kereta kekuasaannya seperti khawatir terkejar oleh bayangan dirinya sendiri. Sebagian besar warga tunggang langgang mencari esensi peristiwa yang kerap tak lagi bisa dinalarnya dengan akal-budi.Tahun 2014, harapan dan kejumudan politik silih berganti hadir menerbitkan kegembiraan berpolitik, tetapi sekaligus juga kecemasan yang mulai tak bertepi.
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 kian mengokohkan posisi pemilu sebagai instrumen demokrasi. Dalam pemilu legislatif, penghukuman terhadap petahana telah terjadi. Namun, bersamaan dengan itu, personalitas figur tetap menjadi penentu terdongkraknya atau tertahannya suara parpol kontestan pemilu.
Dalam pilpres, polarisasi dukungan di antara kedua kubu tak berakhir dengan konflik horizontal. Sebagian besar pemilih dari dua kubu bisa menerima hasil akhir. Namun, momen pilpres kali ini juga memberikan pelajaran tersendiri.
Pertama, pilihan perkubuan lebih dominan berdasarkan pertimbangan transaksi politik alih-alih kesamaan nilai dan gagasan. Sebagai akibatnya, para elite politik kerap gagap dan tak jarang terlihat rikuh karena harus membenarkan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan nilai dasar yang dianutnya dan atau kebijakan yang ingin dan atau telah diterapkannya.
Lebih daripada itu, kedua, Pilpres 2014 menjadi penanda kembalinya nilai-nilai primordial dalam berpolitik (etnis, suku, dan golongan) sebagai pendongkrak perolehan suara yang penting. Yang mencemaskan dari situasi ini bukanlah penguatan nilai-nilai primordial itu sendiri, melainkan terjadinya manipulasi yang memanfaatkan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information). Manipulasi ini terkait ”isu agama” dan ”kepentingan internal PNS” yang mampu mengecoh sebagian pemilih dan karena itu menjadi penggerak perolehan suara yang cukup signifikan, terutama bagi pasangan kontestan tertentu.
Meski telah menjadi instrumen demokrasi, pemilu belum lagi menjadi ruang kontestasi gagasan. Pemilu belum menjadi ruang kontestasi beragam kelompok yang ada di Tanah Air. Karena itu, pemilu belum menjadi momen bagi warga sebuah bangsa untuk kembali merumuskan batasan-batasan dan bentuk-bentuk sosial politik yang dikehendakinya bersama.
Pasalnya, parpol dan elite politik masih terlalu sibuk melakukan strategi ”zig-zag” terhadap nilai-nilai dasar yang mereka tuliskan dan suarakan. Akibatnya, setiap gagasan penting dapat mereka tafsirkan sekehendak hati sesuai selera pemilih yang dijadikan target suara. Persisnya, tidak ada keberanian untuk melakukan aksi komunikasi politik yang jernih.
Sebagai pemilih, kita hanya bisa meraba-raba bagaimana sikap parpol dan atau kandidat politik terhadap hal-hal yang saat ini relevan bagi kehidupan berbangsa. Dengan keterbatasan yang ada, kita terdorong untuk memercayai apa yang kita ingin yakini belaka, bukan karena kebenaran faktualnya.
Sebagai pemilih, kita sulit memperoleh kepastian bagaimana sebenarnya sikap parpol dan elitenya terhadap isu-isu kontemporer (sikap terhadap KPK, pilkada langsung, subsidi BBM) ataupun yang menyangkut visi kenegaraan (posisi agama dalam negara, posisi eksekutif dengan legislatif, posisi MPR dan DPD, dan juga segala sesuatu yang bertautan dengan praktik bernegara ala Orde Baru). Kekaburan posisi atas gagasan ini yang kemudian menumbuhsuburkan berbagai akrobat politik yang ganjil, menggelikan, sekaligus mengibakan.
Bangkitnya daulat elite
Di parlemen, polarisasi dalam pilpres dilanjutkan secara bertubi-tubi. Manuver legislasi dilakukan terutama dengan pertimbangan ”kita versus mereka”. Praktik sistem parlementer diterapkan meski di lain kesempatan kedua belah kubu koalisi terus berkoar bahwa sebagai bangsa, kita harus kembali pada Pancasila.
Dalam situasi ini kita sebagai warga menyaksikan bagaimana salah satu buah reformasi politik 1998 hendak kembali diberangus. Gagasan pemberangusan ini menjadi tragedi karena juga dipekikkan oleh sebagian elite yang dulu berperan sebagai aktor dalam gerakan reformasi, baik mereka yang dulu menggalang kekuatan di akar rumput maupun mereka yang didapuk menjadi simbol gerakan. Ya, pilkada langsung hendak kembali diberangus dengan berbagai dalih dan alibi.
Penghapusan pilkada langsung dapat dimaknai sebagai bentuk penghukuman oleh sebagian elite terhadap pemilih. Rakyat dihukum karena telah mempermalukan elite. Rakyat dihukum karena tak mau lagi tunduk pada simbol-simbol kuasa yang melekat pada pembesar negeri. Secara politik, penghapusan pilkada langsung perlu dilihat sebagai sebuah mata rantai dari cita-cita politik untuk mengembalikan daulat elite yang kian tergerus proses demokratisasi.