Dalam skala lokal, kita juga bisa menyaksikan atraksi politik berupa menghadirkan gubernur tandingan di Jakarta dengan menggunakan dalil agama sebagai pembenar. Atraksi politik ini untungnya relatif tak digubris warga Jakarta. Namun, yang mengejutkan adalah parpol-parpol yang memiliki akar ideologi nasionalisme—Pancasila (baik dari Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat)—relatif bungkam meski jelas-jelas atraksi politik tersebut bertentangan secara diametral dengan garis ideologi yang mereka anut dan perjuangkan.
Betapapun tak signifikannya atraksi politik tersebut, pembiaran yang dilakukan elite politik melambungkan rasa khawatir. Pembiaran ini seakan jadi pesan kepada pihak-pihak tertentu agar menggunakan argumentasi yang sama untuk membenarkan berbagai bentuk atraksi politiknya di sejumlah lokasi dan ranah politik yang berbeda di Tanah Air.
Pembiaran ini merupakan konsekuensi logis dari kecanduan sebagian elite politik dalam mempraktikkan politik samar-samar. Dengan politik samar-samar, elite politik jadi mudah berayun posisi sekehendak hati, sesuai kalkulasi benefit politik bagi dirinya dan atau kelompoknya. Dalam hal ini, konstituen diperlakukan sebagai penonton dan atau pengikut yang wajib menyokong manuver politik mereka.
Jalan masih terjal
Pada kuartal keempat tahun ini, Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mulai memerintah. Berbagai gebrakan yang dilakukan, termasuk oleh para menterinya, menjadi pupuk bagi bermekarannya harapan baru. Perbaikan tata kelola dan menegaskan kehadiran negara menjadi benang merah dari semua gebrakan kebijakan yang sudah digulirkan.
Meski demikian, rangkaian harapan ini masih akan menemui jalan nan terjal. Konsistensi implementasi akan jadi faktor krusial. Ketika pemerintahan mulai merasa berada dalam zona nyaman, bukan tak mungkin para pemangsa dan penjarah aset bangsa akan kembali beraksi. Menjadi penting bagi semua pihak untuk selalu mengawasi pemerintah dengan semangat memajukan kemaslahatan umum dan keadilan sosial.
Dengan semangat yang sama, kondisi politik di DPR harus terus dicermati. Meski polarisasi mulai mencair, tidak pernah ada kepastian bahwa hal tersebut akan benar-benar berlanjut. Perkembangan posisi parpol yang mulai mempertimbangkan posisi mengambang akan menghadirkan kompleksitas politik yang tak kalah rumit. Pertimbangan kepentingan bisnis ataupun gengsi elite dapat meluluhlantakkan regulasi dan atau kebijakan yang sungguhpun diarahkan untuk melayani rakyat dan demi kemajuan bangsa.
Situasinya bakal diperumit oleh dinamika internal di setiap parpol yang untuk beberapa di antaranya sudah terlihat pada pengujung tahun ini. Guliran gagasan regenerasi, repositioning, dan sekaligus resistensi faksi tertentu dalam tubuh parpol juga berpotensi akan mewarnai lanskap politik di Tanah Air, yang pada gilirannya akan berimbas pada implementasi kebijakan pemerintah, dan bahkan keberlangsungan proses demokratisasi itu sendiri.
Ya, dinamika politik 2014 menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa masih terus meniti demokratisasi di sebuah pematang yang rapuh. Ancaman implisit dan eksplisit terhadap demokratisasi silih berganti hadir memperlambat dan bahkan terkadang merusak pencapaian yang sudah ada. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ketidaksinkronan antara sistem politik yang tertuliskan dan praktik politik yang dijalankan.
Kita mematok sistem pemerintahan presidensial, tetapi praktik politiknya lebih kental nuansa parlementernya. Ini ditopang oleh sistem kepartaian multipartai yang dirawat oleh sistem pemilu yang tak berpihak pada upaya penyederhanaan kekuatan politik di parlemen.
Untuk sementara waktu, kita sepertinya harus menerima situasi ini sebagai ”darurat politik”. Dalam situasi perkubuan politik yang tak sepenuhnya cair dan ambisi menggelora untuk mengembalikan daulat elite, pembenahan sistem kenegaraan bak membuka kotak pandora. Ambisi yang menggunung memungkinkan sebagian elite menjalin aliansi hitam dengan para pihak yang ingin menguburkan proses demokratisasi di Tanah Air dan ataupun kepada pihak yang ingin mengakhiri Indonesia sebagai bangsa yang bersendikan Pancasila.
Tahun 2014 telah berlalu, pemerintah baru telah beraksi. Selamat datang era baru. Era yang membawa kegembiraan, harapan, tetapi juga menyertakan kecemasan yang tak kalah besar tentang nasib kemanusiaan di Tanah Air dan keindonesiaan itu sendiri.
Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia