Pola pengambilan keputusan di atas perahu sangat berbeda dari pola kepemimpinan feodal. Keputusan harus diambil dengan sangat cepat dan harus dikoreksi dengan sama cepatnya kalau terbukti salah. Dalam menghadapi topan di laut, pemimpin perahu tidak bisa bermusyawarah dengan para awaknya selama satu dua jam atau membentuk komisi-komisi untuk membahas perkembangan topan. Kalau ini dilakukan, sangat mungkin perahunya sudah tenggelam sebelum musyawarah dimulai. Dalam hal ini keselamatan perahu dan awaknya tergantung seluruhnya pada keputusan yang dibuat kapitan perahu dan ketegasannya dalam mendorong agar perintah-perintahnya dilaksanakan dengan cepat dan cermat. Jelas bahwa kewibawaannya muncul dari berbagai ketepatan perhitungannya dalam menghadapi bahaya di laut pada waktu-waktu sebelumnya, dan keyakinan awak perahu bahwa kapitan mereka tak akan membiarkan perintah-perintahnya diabaikan.
Kalau perahunya ternyata karam juga, maka ada etos yang menetapkan bahwa sang kapitan harus bertahan sebagai orang terakhir di perahunya, sampai penumpang dan awak kapal sudah selamat atau mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Seorang kapitan perahu bisa saja mengabaikan ketentuan ini dan menyelamatkan dirinya pada kesempatan pertama dengan meninggalkan penumpang dan awak kapal berjuang melawan arus dan gelombang. Kalau ini dilakukan, kepengecutan sang kapitan akan menjadi ejekan di kampung halamannya dan meninggalkan aib yang harus ditanggung anak-cucu dan kerabatnya selama beberapa turunan.
Kendala egosentrisme
Etos ini seakan menetapkan bahwa kapitan perahu adalah orang yang harus menyelamatkan orang lain dan bukan menyelamatkan dirinya sendiri. Ini kebajikan yang amat sulit karena egosentrisme adalah pembawaan tiap orang sejak bayi hingga menjadi lansia. Egosentrisme adalah dorongan instingtif pada seseorang untuk melihat dirinya sebagai pusat dunia, entah pusat kepentingan berupa egoisme, atau pusat kemuliaan dan kehormatan berupa narsisisme.
Rupanya para pelaut Indonesia sudah tahu sejak dulu kala bahwa egosentrisme akan membuat kapitan perahu mengabaikan tugasnya dan menyebabkan perahunya luluh lantak diterjang angin topan dan mengakibatkan awak dan penumpang perahu sia-sia menyabung nyawa melawan arus dan gelombang yang mengempas mereka. Karena itu, dalam etosnya kapitan perahu dituntut membuang egosentrismenya, dan memberi dirinya demi keselamatan orang lain, sekalipun dia sendiri harus menjadi korban tugas dan tanggung jawabnya.
Tentu saja watak kapitan perahu sebagaimana dilukiskan dalam uraian ini lebih merupakan suatu ideal type atau tipe ideal sebagaimana dimaksud oleh sosiolog Jerman, Max Weber. Dalam arti itu, tipe ideal adalah suatu konstruksi pikiran yang jarang terdapat dalam kenyataan sehari-hari, tetapi konstruksi ini bertujuan membangun gambaran tentang suatu tipe orang atau kelompok orang yang secara logis sempurna dalam semua cirinya yang terpenting. Tipe ideal bermanfaat bagi peneliti untuk melihat jarak dan perbedaan di antara kenyataan empiris yang ditelitinya, dan konstruksi logis yang sudah dibangun. Dalam istilah yang populer sekarang, tipe ideal dapat berfungsi sebagai referensi yang menjadi ukuran melalui perbandingan atau benchmark bagi kenyataan yang kita amati.
Dalam arti itu, kapitan perahu yang satu bisa unggul dalam kompetensinya, tetapi tidak begitu besar nyalinya, sementara kapitan perahu yang lain amat tegas dalam mengambil keputusan, tetapi tak begitu gemilang kompetensinya.
Tidak seorang manusia pun yang dapat unggul dalam semua kebajikan. Meski demikian, kapitan perahu sebagai pemimpin sudah menetapkan keutamaan apa saja yang membuat seorang anak manusia menjadi pemimpin di atas perahu. Tiga kebajikan yang harus ada padanya adalah kompetensi yang harus dibangun dari bawah dan membuatnya menjadi a man of competence. Kedua, kemampuan mengambil keputusan dan membuat keputusannya terlaksana. Dia harus berdiri di atas perahunya sebagai a man of resolution. Ketiga, dia menyediakan diri sebagai tumbal kalau kecelakaan menimpa perahunya, dan berusaha dengan segala cara menyelamatkan para awak dan penumpang meskipun dia sendiri akan kehilangan nyawanya sendiri. Dia mendapat penghormatan sebagai a man of dignity.
Membangun suatu politik dan ekonomi maritim akan terwujud dengan hasil yang maksimal apabila ditunjang oleh kepemimpinan politik maritim dengan kapitan perahu sebagai modelnya. Juga, kepemimpinan politik maritim akan lambat laun membongkar akar-akar patrimonialisme yang memperlakukan negara dan warga negara sebagai milik pribadi seorang kepala keluarga, dan membebaskan politik Indonesia dari feodalisme yang memandang negara sebagai lahan yang bisa dibagi-bagi kepada siapa pun yang mau mempersembahkan upeti.
Laut adalah masa depan kita, Indonesia adalah perahu kita, dan pemimpin politik adalah kapitan perahu kita.
Ignas Kleden
Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)