Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemimpinan Politik Maritim

Kompas.com - 18/11/2014, 21:56 WIB

Oleh Ignas Kleden

SEBELUM resmi menjadi presiden, Jokowi sudah melakukan kampanye tentang perlunya Indonesia melakukan reorientasi dari darat ke laut, dari kebiasaan memperlakukan negeri ini sebagai negara kontinental ke pengertian yang lebih realistis bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri atas lautan luas dengan selingan pulau-pulau.

Pada pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia, dia menegaskan kembali bahwa sudah terlalu lama kita membelakangi laut, teluk, dan selat, tetapi sejak sekarang laut, teluk, dan selat akan menjadi masa depan Indonesia.

Sebagai contoh soal, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa  potensi ekonomi sektor kelautan  bisa mengganti penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi. Pendapatan dari sektor laut bisa mencapai 18,7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 200 triliun. Ini dikatakannya berdasarkan pengalamannya di Pangandaran yang bisa mengekspor 20-30 juta dollar AS per tahun meskipun garis pantainya hanya sepanjang  91 kilometer, sementara garis pantai Indonesia panjangnya 85.000 kilometer. (Koran Tempo, 9/11/2014)

Reorientasi ini akan membawa serta perubahan radikal dalam berbagai sektor. Akan terjadi pergeseran pusat perhatian dari pertanian dan peternakan ke perikanan, dari kehutanan ke kelautan, dari perhubungan darat ke perhubungan laut, dari pariwisata darat ke pariwisata laut, dari produksi darat ke produksi laut, dari pertahanan dan keamanan darat ke pertahanan dan keamanan laut, dari dimensi ketinggian gunung ke dimensi kedalaman laut, dari keindahan sawah dan nyiur melambai ke estetika kaki langit, dan dari cara memandang laut dari daratan ke cara memandang daratan dari laut. Di antara semuanya, satu hal lain akan mengalami pergeseran juga, yaitu dari budaya politik dan kepemimpinan politik berlandaskan pertanian ke budaya politik dan kepemimpinan politik maritim.

Kita tahu, feodalisme adalah susunan masyarakat yang berlandaskan kepemilikan atau akses kepada feud atau sebidang tanah. Seorang raja atau kaisar menuntut pelayanan berupa upeti dan perlindungan militer dari bawahannya yang dinamakan vasal dan sebagai kompensasi memberikan  sebidang tanah sebagai daerah kekuasaan vasal itu. Pengaturan hubungan di antara raja dan vasalnya tidak selalu sama dan dapat terlihat perbedaannya di Eropa, India, Turki, atau Jepang.

Seorang vasal biasanya menguasai sebidang tanah (feud) sebagai daerah kekuasaannya yang diberikan oleh raja atau kaisar dan sebagai imbalannya dia harus membayar upeti dan memberikan pelayanan militer. Dia berfungsi sekaligus sebagai penguasa teritorial dan komandan militer bagi raja. Pelayanannya memberikan dia status kehormatan sebagai bangsawan sekalipun hal ini tidak selalu terjadi. Persoalan timbul kalau fungsi penguasa teritorial dan komandan militer ini terpisah. Ini terjadi dalam feodalisme Jerman ketika raja mengangkat seorang Graf (atau count dalam bahasa Inggris) sebagai gubernur distrik dan seorang Herzog (atau duke) sebagai komandan militer.

Ketegangan juga terjadi antara Graf  sebagai penguasa teritorial dan baron sebagai kelompok bangsawan dengan garis aristokrasi yang jelas. Dalam feodalisme Jepang ketegangan muncul di antara daimyo sebagai penguasa teritorial di bawah kaisar dan samurai sebagai satuan dengan keahlian militer.

Di Indonesia, selama masa penjajahan Belanda, diberlakukan sistem pemerintah indirect  rule atau pemerintahan tak langsung. Dalam sistem ini pemerintah kolonial tidak memerintah penduduk koloninya secara langsung, tetapi memerintah rakyat di suatu daerah melalui bangsawan daerah itu—pangeran, adipati, atau tumenggung—yang mempunyai legitimasi secara tradisional untuk memerintah rakyat di daerahnya. Dalam fungsi ini mereka diangkat sebagai bupati dalam kabupatennya, dan memerintah atas nama gubernur jenderal, sebagai vasal meskipun tidak mempunyai kekuatan militer sendiri untuk mendukung kekuasaannya.

Ketegangan sering muncul di antara asisten-residen sebagai pejabat Belanda yang menguasai sebuah distrik dan bupati sebagai bangsawan setempat yang dipatuhi rakyatnya. Pengarang Max Havelaar dalam bukunya, Multatuli,  bercerita  bahwa dalam ketegangan antara asisten-residen dan bupati, Pemerintah Belanda cenderung memihak bupati karena asisten-residen bisa diganti dengan segera oleh seorang pejabat lain, tetapi bupati dengan kewibawaan dan legitimasinya tak dapat diganti begitu saja. Ini juga sebabnya, penghasilan seorang bupati jauh lebih tinggi daripada gaji seorang asisten-residen. Penghasilan bupati, menurut Max Havelaar, terdiri atas empat komponen, yaitu 1) gaji tetap bulanan, 2) jumlah tetap pembayaran bagi hak-hak mereka yang dibeli Pemerintah Belanda, 3) premi dari hasil produksi kabupaten berupa kopi, gula, indigo, kayu manis, dan lain-lain, 4) hak menggunakan tenaga dan harta benda rakyat kabupaten secara tak terbatas.

Kepemimpinan kapitan perahu

Dalam sistem pemerintahan tak langsung, semuanya diberi dari atas. Kekuasaan tumenggung atau adipati diterima dari gubernur jenderal dalam bentuk jabatan bupati, dengan kehidupan yang dijamin secara lebih dari cukup dan dengan kemewahan yang menjadi atribut statusnya. Kekuasaan bupati dengan sendirinya akan diturunkan ke anak laki-lakinya dan ketentuan ini dihormati oleh Pemerintah Belanda.

Dapatlah dipahami mengapa kemerdekaan nasional Indonesia pada 1945 tak serta-merta menyingkirkan pola-pola pemerintahan tak langsung ini, yang telah berakar dan meresap ke dalam psikologi politik dan bawah sadar kebudayaan banyak komunitas di Indonesia. Kolonialisme sebagai akar-tunjang bagi batang pohon bernama negara kolonial, dan feodalisme sebagai akar-serabut yang tumbuh dari politik tradisional dan memperkuat tegaknya kolonialisme, masih tetap menyabot dari dalam tanah pohon baru bernama Republik Indonesia yang hanya berakar pada kehendak untuk merdeka.

Suasana politik dan kebudayaan seperti ini jelas asing bagi kepemimpinan maritim yang oleh antropolog Prof Mattulada dinamakan kepemimpinan kapitan perahu. Seorang kapitan perahu hanya mungkin tumbuh dari bawah dan tak mungkin didrop dari atas. Dia harus terlebih dahulu mengumpulkan pengalamannya di atas perahu tentang teknik berlayar, membaca arah angin, dan melakukan navigasi dengan melihat bintang di langit, dan belajar bekerja sama dengan awak perahu dan akhirnya memimpin mereka.

Kompetensi seorang kapitan perahu akan selalu transparan, sementara inkompetensinya tak dapat disembunyikan. Ujian akan diberikan oleh alam sendiri. Kalau dia hendak membawa perahunya dari Surabaya ke Banjarmasin, tetapi perahunya kemudian mendarat di Cilacap, maka dia akan langsung dicopot dari kepemimpinannya sebagai kapitan perahu. Seorang tidak bisa berpura-pura dengan kemampuannya, atau menciptakan citra seorang kapitan perahu, karena kebohongan akan tersingkap dalam waktu singkat.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Nasional
Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Nasional
Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com