"Kami masih fokus pada proses peradilan AU (Anas Urbaningrum). Nanti tergantung dari hasil apakah di dalam vonis nanti di tingkat banding," ujar Johan, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/9/2014).
Johan mengatakan, pengembangan kasus baru dapat dilakukan jika sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kata Johan, saat ini KPK masih menunggu keputusan Anas, apakah akan mengajukan banding atau tidak.
"Kan ada keterangan yang muncul di proses persidangan. Dari hasil itu, KPK bisa mengembangkan perkara. Sekarang kita fokus pada proses peradilan yang dibanding," kata Johan.
Menurut majelis hakim, pembelian lahan atas nama Attabik Ali menggunakan uang yang patut diduga hasil tindak pidana korupsi. Kesaksian Attabik yang mengaku bahwa lahan seharga Rp 15 miliar tersebut dibeli dengan uang yang dikumpulkannya dianggap kurang meyakinkan.
Dalam surat pemberitahuan pajak (SPT) Attabik, diketahui bahwa penghasilan pemimpin Ponpes Krapyark tersebut hanya Rp 321 juta per tahun. Hakim juga menilai keterangan Attabik yang mengaku mendapat uang untuk membeli lahan tersebut dari penjualan kamus kurang meyakinkan.
Menurut hakim, penghasilan Attabik dari penjualan kamus Arab-Indonesia-Inggris tersebut tidak jelas nilainya. Jika merujuk keterangan mantan Wakil Badan Intelijen Negara As'Ad Ali yang membeli 6.000 ekslempar kamus tersebut, nilai uang yang diperoleh Attabik dari penjualan kamus itu hanya Rp 3 miliar. Hal ini didasari pernyataan Attabik yang mengaku menjual kamus dengan harga sekitar Rp 450.000 hingga Rp 500.000 per satuan.
Sebelumnya, pada Rabu (24/9/2014) kemarin, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis penjara delapan tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Anas. Hakim juga meminta Anas membayar uang pengganti sekitar Rp 57,5 miliar dan 5,2 juta dollar AS.
Anas dinyatakan terbukti menerima pemberian hadiah hadiah atau janji yang patut diduga jika pemberian itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan Anas. Hadiah yang diterima Anas di antaranya uang Rp 2,2 miliar dari Adhi Karya, Rp 25,3 miliar dan 36.000 dollar AS dari Grup Permai, serta peneriman lainnya berupa Toyota Harrier, Vellfire, dan fasilitas berupa survei pencalonan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat dari Lingkaran Survei Indonesia.
Hakim menilai Anas memiliki pengaruh dalam mengatur proyek APBN mengingat jabatannya sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik pada 2005. Pengaruh Anas ini semakin besar setelah dia terpilih sebagai anggota DPR dan ditunjuk sebagai ketua fraksi.
Hakim juga menyatakan Anas terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua yang memuat Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Namun, majelis hakim Tipikor menolak tuntutan jaksa KPK untuk mencabut hak politik Anas. Menurut hakim, penilaian mengenai layak tidaknya seseorang dipilih dalam jabatan publik merupakan kewenangan publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.