Akibat dari kenyataan ini adalah bahwa kalau pembangunan yang berpretensi mengisi kemerdekaan nasional tidak membahagiakan warga individual, mereka kembali menyatu dengan suku masing-masing. Kalau ketidakpuasan sudah meliputi suku sebagai keseluruhan, suku yang kecewa ini cenderung memisah diri dari NKRI. Kecenderungan ini sudah terwujud, lalu ditumpas secara militer, bukan mengubah cara pembangunan yang telah mengecewakan itu. Maka, terjadilah ”perang saudara”, a wrong war, against a wrong enemy, at the wrong place, triggered by the wrong reasons. Pusat memang selalu menang, tetapi menyebabkan luka kedaerahan, dendam kesukuan, yang dibisikkan dari ayah ke anak, dari anak ke cucu.
Yang telah mengecewakan itu adalah kebijakan pembangunan nasional yang direduksi menjadi pengambunan ekonomi dalam term pendapatan (GNP, GDP, average income per capita). Ia bertujuan menaikkan plus-value of things, bukan nilai-lebih dari manusia. Berhubung pembangunan adalah pembangunan ekonomi, maka dianggap wajar kalau ia dipandu oleh disiplin ekonomika pure and simple, yang peka terhadap tingkah laku pasar dan mengabaikan tingkah laku manusia serta ruang sosial di mana manusia bermukim.
Kita harus mengubah konsep pembangunan ekonomi dengan pembangunan nasional dan berpendekatan budaya. Konsep adalah imaji yang dibentuk berdasarkan suatu konstruksi (berpikir) tertentu. Imaji ini diilhami oleh apa yang dahulu sering dikemukakan Bung Hatta pada masa revolusi fisik, yaitu (dengan kemerdekaan) ”kita ingin membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia”.
Ukuran kebahagiaan ini, menurut hemat saya, adalah sekaligus bisa ”to have more” dan ”to be more” melalui pelaksanaan pembangunan yang dikonstruksikan untuk mengisi kemerdekaan suatu negara-bangsa maritim. To be more berarti ngewongke wong, menghargai martabat warga dan sukunya. Maka, pembangunan nasional ini tidak dinyatakan dalam term pendapatan (to have more), tetapi dalam term ruang sosial, bagian bumi di mana manusia bermukim.
Pendekatan budaya yang dipilih karena bila kita berbicara mengenai kebudayaan, yang adalah sistem nilai yang dihayati, kita membicarakan manusia. Ia adalah target pertama dan terutama dari pembangunan nasional. Yang universal bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas budaya dan lalu berperilaku dalam term tersebut.
Konsep pembangunan khas Indonesia ini jelas punya konsekuensi dalam pembelajaran pembangunan. Selama ini pelajaran tersebut dikuliahkan sebagai teori pembangunan ekonomi tanpa penjelasan akurat asumsi yang melandasi penalarannya. Kini seharusnya diajarkan secara bersamaan konsep mengenai pembangunan yang khas dipolakan untuk diterapkan di Indonesia, bukan di India, di Tiongkok, atau di developing country mana pun. Kuliah ini bisa diberikan oleh dosen teori pembangunan ekonomi atau dosen lain yang sederajat.
Ada sesuatu yang essentially antagonistik antara kebiasaan yang mencari panduan teoretis dan yang mencari pegangan bagi keberhasilan pelaksanaan sesuatu usaha. Teori, in fact, merupakan masalah edukasi dan deliberasi, bukan masalah eksekusi. Sementara mahasiswa disiapkan untuk menjadi eksekutor andalan bagi keberhasilan pembangunan tanah-air.
Namun, kalau dalam kuliah ”the economics of development” bacaan tambahan yang dianjurkan adalah ”mathematics”, bagi kuliah ”pembangunan nasional dalam term ruang sosial yang berpendekatan budaya”, bacaan tambahan tersebut berupa novel, cerpen, risalah, monografi, yang mengemukakan kemiskinan, kekurangan, penderitaan dan kesengsaraan manusia, rakyat yang katanya pemilik republik ini.
Daoed Joesoef
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne, Perancis