Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Dua Profesi dalam Pemilu

Kompas.com - 11/08/2014, 16:29 WIB

Oleh: Ashadi Siregar

KOMPAS.com - Dua profesi, jurnalis dan peneliti, pada dasarnya memiliki kesamaan episteme, yaitu obyektivitas.

Bahwa obyektivitas selamanya memiliki dua sisi mata koin tak terpisah: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri pelaku. Artinya di satu sisi menghargai kebenaran pada obyek dan menekan kepentingan subyektif diri pada sisi lainnya. Pilpres 2014 membawa implikasi ke dua profesi ini. Jika pengabaian obyektivitas  dianggap enteng, publik dihadapkan situasi krisis sebab dua profesi yang berbasis kepercayaan (credibility) dibiarkan bobrok.

Sebagai perusahaan media, televisi mungkin masih tertolong, misalnya dengan siaran sepak bola yang sangat diminati publik. Namun, siaran berita televisi dan media cetak dengan materi utama jurnalisme pada dasarnya menjebloskan diri. Seusai pilpres, sebagai institusi sosial, dia harus keluar dari lubang kuburnya  dan berusaha memulihkan diri, sementara politisi yang bersaing sudah menikmati kursi masing-masing.

Jika politisi tak menghargai obyektivitas, mudah dipahami. Pemeo populer menyatakan, dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang sama. Tak perlu akal sehat (reason) dengan kerangka ideal publik dalam komunikasi, cukup dengan kekuatan retorika dalam propaganda.

Untuk kepentingan subyektif yang bersifat pragmatis, sudah biasa segala cara dihalalkan. Apa jadinya manakala kecenderungan ini merasuk ke dunia jurnalisme dan penelitian? Yang abadi bagi media jurnalisme dan lembaga penelitian adalah kepercayaan publik. Kepentingan pragmatis mungkin menguntungkan jangka pendek, tetapi kehilangan kepercayaan memerlukan upaya panjang membangun ulang hubungan organis dengan publik luas.

Krisis jurnalisme

Partisanship oleh media biasa terjadi. Namun, keberpihakan ini bersifat gradual, tak absolut. Biasanya karena mendukung gagasan tertentu yang berkesesuaian dengan visi media. Dukungan pada gagasan diikuti simpati, tecermin dari pemberitaan tentang kandidat bersangkutan. Namun, bukan berarti menutup sama sekali peluang pemberitaan atas kandidat lain.

Karena itu, masa pilpres senantiasa jadi ranah kajian dalam studi komunikasi, yaitu melalui analisis isi kuantitatif (content analysis) melihat komposisi pemberitaannya. Di sini diukur derajat netralitas dan keseimbangan terhadap pihak-pihak yang bersaing. Artinya setiap pihak tetap diberitakan. Media digolongkan sebagai simpatisan, bukan partisan.

Koran Tempo yang disebut-sebut berpihak, atau Jakarta Post yang eksplisit mendukung salah satu kontestan, dengan pengamatan sederhana terlihat sebagai media simpatisan. Simpati tecermin dalam pemberitaan. Namun, koran-koran ini tetap memberi tempat ke kontestan lain. Asas jurnalisme dijalankan, yaitu setiap pemberitaan dari tiap-tiap kontestan berdasarkan narasumber dari pendukung kontestan tersebut.

Krisis dalam kerja jurnalisme yang tampak dalam Pilpres 2014 lebih dari partisanship yang biasa dikenal. Belum pernah dunia jurnalisme semabuk sekarang. Media pers dijalankan tanpa rikuh sebagai partisan dengan berpihak secara mutlak kepada kontestan politik.  Keberpihakan ini di satu sisi dengan memberi tempat total kepada yang dipihaki, di sisi lain tak memberi tempat ke kompetitor. Atau kalau memberitakan kompetitor secara tendensius bersifat negatif, tanpa narasumber dari pihak yang diberitakan.  Karena itu, disebut kampanye gelap. Asas keseimbangan dan ketidakberpihakan yang jadi ciri netralitas dalam kerja jurnalisme tak lagi dihormati.

Apakah keberadaan media partisan masih dinilai dengan norma etika jurnalisme? Kiranya sudah tak relevan bicara etika. Etika hanya dapat berlaku pada ranah perbuatan yang bersifat relatif, antara baik dan kurang baik. Jika yang dilihat semata-mata perbuatan buruk yang absolut, bukan lagi ranah etika. Itu urusan aparat hukum karena bersifat pada pencemaran kehormatan/martabat, fitnah atau sejenisnya sebagai pidana umum.

Jika sebelumnya hitung cepat (HC) dapat jadi acuan yang menenangkan tensi kontestasi, pilpres  kali ini malah dikisruhi data HC. Pada waktu lalu, biasanya kisruh pemilu adalah pada penghitungan riil universe voter dalam struktur KPU, mulai dari TPS sampai rekapitulasi di atasnya. Keterbukaan KPU sekarang adalah menyediakan hasil pemindaian data mentah dari struktur paling bawah (C1 dari PPS) secara daring. Kemudahan perangkat lunak  untuk capture dari layar monitor menjadikan pengawasan pada rekap dapat ditingkatkan. Partisipasi publik melalui media daring menandai proses kerja pemilu di Indonesia.

Kisruh terjadi di antara dua set kelompok data HC: versi 1 dari empat lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta dan versi 2 dari delapan lembaga yang memenangkan Jokowi-JK. Dengan jaringan stasiun televisi lebih banyak, keberulangan tinggi data versi 1 terkesan lebih lantang. Secara masif jaringan televisi MNC Group yang pemiliknya pendukung Prabowo-Hatta menyiarkan data versi 1, dengan tak menyiarkan sama sekali data versi 2. Stasiun lain menyiarkan data versi 1 dan 2, tetapi memberi keberulangan lebih tinggi pada data versi 2. "Perang" data HC berlangsung di layar kaca. Dengan tak memberitakan data versi 2, jaringan MNC menempatkan diri partisan absolut.

Sampel lembaga HC adalah proporsi TPS, sedangkan data universe KPU adalah seluruh TPS. Jadi publik perlu tahu bahwa keberadaan data HC sangat ditentukan oleh kesahihan (validitas) atas sampel, dari sini keterujian (reliabilitas) data ditentukan. Setiap kali HC dipublikasikan media pada dasarnya memberikan pendidikan level akademik kepada publik luas tentang kaidah metodologi penelitian. Karena itu, jika ada desakan agar lembaga-lembaga HC membuka metodologi, mungkin tak harus deskripsi detail sebaran sampel, yang penting publik kembali dididik tentang reasoning dalam penentuan proporsi sebaran sampel penelitian HC.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar Optimistis Bisa Koalisi dengan Gerindra di Pilkada Jakarta, Calonnya Masih Dibahas

Golkar Optimistis Bisa Koalisi dengan Gerindra di Pilkada Jakarta, Calonnya Masih Dibahas

Nasional
Mendagri Buka Suara Pj Gubernur NTB Diganti Pensiunan Jenderal TNI

Mendagri Buka Suara Pj Gubernur NTB Diganti Pensiunan Jenderal TNI

Nasional
PKB Buka Kans Koalisi dengan PDI-P, Sandingkan Marzuki-Risma di Pilkada Jatim

PKB Buka Kans Koalisi dengan PDI-P, Sandingkan Marzuki-Risma di Pilkada Jatim

Nasional
Benny Harman: Belum Ada Rekomendasi Untuk Kembalikan UUD 1945 ke Naskah Asli

Benny Harman: Belum Ada Rekomendasi Untuk Kembalikan UUD 1945 ke Naskah Asli

Nasional
Sudah 6 Pj Kepala Daerah Mundur karena Hendak Maju Pilkada 2024

Sudah 6 Pj Kepala Daerah Mundur karena Hendak Maju Pilkada 2024

Nasional
Didakwa Korupsi Rp 44,5 Miliar, SYL Pamer Kementan Kontribusi Rp 15 Triliun ke Negara

Didakwa Korupsi Rp 44,5 Miliar, SYL Pamer Kementan Kontribusi Rp 15 Triliun ke Negara

Nasional
Menperin Bakal Pelajari Isu Sritex Bangkrut

Menperin Bakal Pelajari Isu Sritex Bangkrut

Nasional
Usung Sohibul Iman Jadi Bakal Cagub, PKS Tegaskan Partai Pemenang Pileg di Jakarta

Usung Sohibul Iman Jadi Bakal Cagub, PKS Tegaskan Partai Pemenang Pileg di Jakarta

Nasional
KPAI Desak Polisi Transparan Dalam Kasus Kematian Pelajar 13 Tahun di Padang

KPAI Desak Polisi Transparan Dalam Kasus Kematian Pelajar 13 Tahun di Padang

Nasional
Rotasi Pj Gubernur, Mendagri Bantah Presiden Cawe-cawe Pilkada 2024

Rotasi Pj Gubernur, Mendagri Bantah Presiden Cawe-cawe Pilkada 2024

Nasional
PDN Diserang 'Ransomware', Komisi I Ingatkan Pentingnya Peningkatan Keamanan Siber

PDN Diserang "Ransomware", Komisi I Ingatkan Pentingnya Peningkatan Keamanan Siber

Nasional
PKS Jagokan Sohibul Iman di Jakarta, Airlangga Ingatkan Pilkada Butuh Koalisi

PKS Jagokan Sohibul Iman di Jakarta, Airlangga Ingatkan Pilkada Butuh Koalisi

Nasional
Staf Airlangga Jadi Pj Gubernur Sumsel, Mendagri: Kami Ingin Beri Pengalaman

Staf Airlangga Jadi Pj Gubernur Sumsel, Mendagri: Kami Ingin Beri Pengalaman

Nasional
Tanggapi Putusan MA, Mendagri: Pelantikan Kepala Daerah Tidak Perlu Serentak

Tanggapi Putusan MA, Mendagri: Pelantikan Kepala Daerah Tidak Perlu Serentak

Nasional
Badan Pengkajian MPR Sebut Wacana Amendemen UUD 1945 Terbuka untuk Didiskusikan

Badan Pengkajian MPR Sebut Wacana Amendemen UUD 1945 Terbuka untuk Didiskusikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com