Setelah 16 tahun berjalan, prestasi nyata dari reformasi adalah munculnya iklim kebebasan berpendapat dan pembatasan masa jabatan presiden. Adapun desentralisasi kekuasaan yang semula diharapkan agar mempercepat dan memperbaiki layanan birokrasi pada rakyat, ternyata hasilnya sangat mengecewakan.
Kondisi pembangunan dan pendidikan daerah semakin mundur. Pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilihan umum kepala daerah sebagian besar buruk kinerjanya, bahkan banyak yang kemudian berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apa yang dibayangkan tokoh dan aktivis gerakan reformasi 1998 pada kenyataannya tidak seindah yang diharapkan. Ibarat kendaraan, perjalanan reformasi menemui banyak blind spot. Banyak lubang-lubang jebakan yang tidak terlihat sehingga kendaraan oleng dan tidak nyaman serta merusak kendaraan itu sendiri.
Kebebasan tanpa disertai penegakan hukum dan etika politik telah menciptakan kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Beberapa survei menyebutkan bahwa rakyat semakin tidak percaya kepada lembaga perwakilan rakyat dan lembaga tinggi negara. Ini semua disebabkan maraknya korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintah dan politisi yang ketika masa kampanye menebar janji untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.
Kita semua ingin sekali Pemilu 2014 ini mampu mengakhiri kehidupan berbangsa yang masih karut-marut agar bangsa Indonesia lepas landas (take-off) mampu berkompetisi dengan membanggakan dalam pergaulan dunia berkat kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.
Namun, lagi-lagi keinginan itu masih juga disertai pesimisme ketika melihat proses dan hasil pemilu legislatif yang dicederai dengan maraknya politik uang dan yang memenuhi kursi wakil rakyat masih juga wajah-wajah lama yang kurang berprestasi. Kini, harapan masih ada yang dialamatkan pada pasangan capres-cawapres yang ditentukan hari ini yang memiliki mandat membentuk kabinet untuk memimpin pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan.
Pilpres kali ini benar-benar merupakan batu ujian, akankah bangsa ini lulus dan naik kelas atau jatuh terperosok. Kalau kita lulus, harapan ke depan sangat menjanjikan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa. Rakyat akan menaruh kepercayaan kepada negara, parpol, dan demokrasi. Dunia pun akan respek kepada Indonesia.
Oleh karena itu, mari kita kawal bersama agar pilpres ini tetap berlangsung jujur, adil, transparan, dan damai. Kalau sampai terjadi keributan atau bahkan bentrokan berdarah-darah yang akan merusak mata rantai agenda pilpres yang telah menelan biaya sangat mahal ini, baik material maupun sosial, yang akan menanggung kerugiannya adalah kita semua. Dunia pun akan melecehkan kita. Investor dalam dan luar negeri tidak lagi percaya kepada pemerintah. Agenda pembangunan tidak berjalan. Ujung-ujungnya rakyat yang menderita.
Mengamati dinamika dan perilaku politik selama ini, saya sendiri tidak menaruh harapan terlalu tinggi terhadap hasil Pemilu 2014 ini. Namun, minimal menyaksikan pilpres berlangsung aman dan damai, sekecil mungkin terjadi kecurangan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mesti bekerja secara profesional, sakti dari teror uang dan ancaman pihak-pihak yang akan mengacau dan merusak kualitas piplres. Rakyat sudah letih mengawal dan mengikuti rangkaian acara pemilu. Jangan sampai partisipasi dan perngorbanan mereka disia-siakan, bahkan dibuat lagi kecewa dan marah akibat penyelenggaraan pilpres yang tidak beres.
Rekonsiliasi nasional
Seperti dikemukakan oleh para pengamat, pilpres yang diikuti dua pasang capres-cawapres dengan mudah menciptakan keterbelahan masyarakat. Akan berbeda jika pasangan yang berkompetisi lebih dari dua sehingga tidak menciptakan suasana berhadapan-hadapan, head to head secara frontal.
Tidak bisa diingkari bahwa di sejumlah daerah dan lapisan masyarakat suasananya memanas untuk saling mengunggulkan jagonya dengan merendahkan yang lain. Bahkan, ada yang disertai dengan memfitnah terhadap yang lain. Namun, sisi positifnya juga banyak.
Masyarakat menjadi lebih tertarik dan mudah berpartisipasi karena pasangan capres-cawapres yang disodorkan hanya dua, dan mereka sudah dikenal publik. Dengan kata lain, telah terjadi pembelajaran politik bagi rakyat secara masif dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kedewasaan berdemokrasi.
Hal baru yang ikut membuat gaduh dan letih masyarakat adalah peran media sosial yang menyediakan ruang bagi perdebatan bebas dan kadang melakukan dramatisasi secara hiperbolik tanpa kontrol. Rakyat pun sekarang mulai berani menyuarakan secara terbuka pilihan politiknya. Kini, semuanya sudah berlalu. Politics is restless. Democracy is noisy, kata orang.