Jelek ya biar
Transparan adalah kata yang sudah jelas dengan sendirinya. Namun, toh FMI memelesetkan transparan itu jadi prasmanan. Buat FMI, transparan belum jelas jika belum menjadi prasmanan. Maka, lebih daripada transparan, semuanya harus prasmanan. Misalnya, kekuasaan harus prasmanan. Artinya kekuasaan harus bisa diincipi semua orang, termasuk kaum duafa. Jika tidak, kekuasaan hanya dicaplok sekelompok orang. Kekuasaan yang transparan sekalipun tetapi tak prasmanan akan menjadi kekuasaan egoistis-individualistis dan tak sosial-demokratis.
Sama halnya dengan agama. Iman dan kebenaran agama bisa saja transparan dan teologinya masuk akal. Namun, jika tidak prasmanan, iman dan kebenaran agama hanya tinggal sebagai keabstrakan Ilahi yang tidak bisa dirasakan manfaatnya bagi dunia yang material dan insani. Iman dan kebenaran agama yang prasmanan adalah iman dan kebenaran yang mau mewujud menjadi konkret, menjadi pesta perjamuan di mana setiap orang bisa ikut menikmatinya tanpa memandang ia dari golongan agama mana. Agama yang prasmanan adalah agama yang sosial bagi kebutuhan masyarakat, lebih-lebih mereka yang menderita dan membutuhkan.
Secara tradisional, masyarakat Jawa sering digolongkan menjadi abangan dan santri tulen alias putihan. FMI tak terlalu tertarik dengan pembagian itu. Mereka ingin jangan sampai pembagian itu memecah-mecahkan dan membuat kita tidak bisa tolong menolong dalam kehidupan sosial dan kemandirian hidup berbangsa. Maka, mereka pun memelesetkan pengertian abangan-putihan itu menjadi ”abang Putih harga mati, cari makan sendiri enggak pakai mencuri”. Maksudnya, mengapa kita mesti dikotak-kotakkan jadi abangan dan putihan? Kita, kan, sudah mematok harga mati, yakni berdiri di bawah bendera Merah Putih, menjadi bangsa yang mandiri di mana warganya tidak saling mengeksploitasi.
Mandiri adalah keprihatinan teman-te man FMI. Salah satu aktivisnya, Kumbo, seorang perupa, mengatakan, produk dalam negeri menjadi anak tiri. Sandang pangan impor, pendidikan, hiburan, penyakit, obat-obatan, dokter, rumah sakit impor. Arloji, gadget, sepatu, sampai celana dalam juga impor. Demi kemandirian yang melawan serba impor itu, FMI mencetuskan pendirian elek yo ben, jelek ya biar. Mereka mengajak agar kita tidak malu menjadi diri sendiri, memakai barang buatan sendiri. Kata mereka, ”Mandiri itu enggak pakai ngrepoti, bikin sendiri jual sendiri.”
Untuk itu, di bawah pimpinan Kyai Elek Yo Ben, mereka membentuk barisan abang-putih bukan sebagai pasukan berani mati, tetapi pasukan berani malu. Meski lucu-lucu, senyam-senyum, dan cekikikan, mereka tidak perlu malu asal semuanya itu ditampilkan dan diperjuangkan demi kemandirian. Siapa pun boleh ikut dalam pasukan berani malu itu asal orang mau andap asoy–pelesetan dari andhap asor yang artinya rendah hati–sederhana, tidak minder, dan tidak gengsi-gengsian.
Semua hal di atas berangkat dari konsep dasar yang disetujui bersama oleh anggota FMI, yakni selo. Untuk memegang konsep dasar itu, mereka bahkan punya lagu ciptaan ”Urip Kok Selo”. Sepintas selo memang bisa diartikan santai, kosong, dan menganggur. Namun, bukan pertama-tama pengertian itu yang dimaksudkan oleh FMI. FMI prihatin akan masyarakat kita yang senantiasa berada dalam tekanan, bahwa semuanya harus serba cepat demi meraih produktivitas sebanyak-banyaknya. Di bawah sistem kapitalis ini masyarakat nyaris tak mempunyai waktu bagi dirinya sendiri. Demi mempertahankan hidupnya, ia harus berproduksi dan berproduksi lagi. Maklum, norma dasar dari masyarakat kapitalis adalah peningkatan produksi setinggi-tingginya.
Di bawah tekanan demikian, energi kreatif orang perorangan dan masyarakat tidaklah dapat tumbuh dan berkembang. Akhirnya, masyarakat kehilangan ilhamilham kreatif, lebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan rohani dan kulturalnya. Masyarakat kaya dalam produksi barang-barang, tetapi miskin dalam energi kreatif kebudayaan. Akibatnya, masyarakat, walau kaya berlimpah, hatinya tak bisa bahagia karena tak bisa berkembang dalam keseluruhannya. Memang kebudayaan dan kerohanian hanya bisa berkembang jika kita mau urip selo, jika kita mampu hidup dalam waktu luang dan meluangkan waktu untuk berefleksi dan memperdalam kekayaan budi dan hati. Dengan urip selo itu kita juga bisa mengidealkan pencapaian rohani, yang melewati batas-batas kematerialan hidup kita sehari-hari. Urip selo juga menyadarkan kita bukan hanya makhluk pekerja, melainkan juga makhluk kreatif dan makhluk sosial yang mau meluangkan waktu untuk orang lain dalam kebersamaan.
Ayo lawan
Itu konsep-konsep kebudayaan perlawanan yang dicetuskan FMI. Konsep-konsep itu tak hanya didiskusikan, tetapi juga diungkapkan dalam pelbagai aktivitas seni dan kebudayaan. Terakhir, pentas konser ”Ayo Lawan” Sri Encik Krishna. Konser ini jelas tak didukung dana kuat. Namun, berkat gotong royong banyak pihak, walau kecil-kecilan, konser ini bisa berjalan. ”Waktu latihan, teman-teman hanya makan nasi kucing,” kata perupa Putu Liong Sutawijaya. ”Saya bilang kepada teman-teman, marilah melawan diri kita sebisa-bisanya. Jangan minder. Yang bisa musik, ya, mainlah musik. Yang bisa dekorasi, ya, mendekorlah. Yang bisa memasang poster, ya, memasanglah. Yang tidak bisa apa-apa, hanya keplok saja, ya, enggak apa-apa,” kata Samuel.
Konser ini gratis. Para penonton dipersilakan membawa sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija untuk ditukarkan dengan tiket masuk. Malam itu counter tiket dipenuhi kangkung, bayam, salak, rambutan, jagung, ubi, ketela, kacang-kacangan, dan sebagainya. Ini juga ide mletho FMI. Uang tak berlaku malam itu.
Malam itu FMI membuktikan bahwa kecupetan dan kemiskinan bisa dilawan dengan pemberian diri sebisanya dalam kebersamaan. Konser mereka adalah sebentuk perlawanan yang mencoba jujur terhadap diri sendiri. Mereka tak mengkritik demokrasi yang sering disalahgunakan. Mereka menghidupi bahwa demokrasi pada hakikatnya tempat semua orang, tanpa kecuali, sesederhana dan semiskin apa pun, boleh terlibat dan dapat melibatkan diri serta boleh memperoleh manfaatnya: demokrasi adalah sebuah prasmanan. Di akhir konser, kedua anak lelaki Encik Krishna naik ke panggung. Keduanya tampil amat sederhana dan seadanya membawa setangkai mawar merah lalu dihaturkan kepada ayahnya.
Sindhunata, Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.